RESONANSI

Ulama Dunia Mengecam Vonis Mati Pengadilan Mesir

Mata dunia menyorot Mesir dua kali hanya dalam kurun waktu sebulan terakhir. Sebelumnya, negeri seribu menara ini memesona dunia dengan diplomasinya terkait jantung isu dunia Muslim: al-Quds dan Palestina.

Diplomasi yang menghasilkan gencatan senjata antara pejuang Palestina dengan Israel. Peran Mesir dalam menyetop laju jatuhnya korban jiwa dan material dari kedua belah pihak dan mengembalikan suasana damai ke Gaza menegaskan posisi Mesir sebagai pemain penting di kancah global.

Nah, Senin (14/6) kemarin, negeri yang melahirkan banyak ulama ini kembali menyedot perhatian dunia. Tapi yang kedua ini lebih tepat disebut kecaman. Pasalnya, Pengadilan Kasasi Mesir menguatkan vonis mati terhadap 12 nama sebagaimana meringankan vonis 31 lainnya dari hukuman mati kepada penjara seumur hidup. Bagi banyak kalangan, keputusan pengadilan tersebut lebih kental nuansa politiknya. Tagar “awqiful i’damaat/stop ekseskusi” dalam bahasa Arab viral, khususnya di Mesir.

Kasus yang didakwakan kepada tertuduh terkenal sebagai I’tisham Rabi’atul Adawiyyah atau protes sipil lewat aksi i’tisham (menduduki) lapangan Rabi’atul Adawiyyah pada tahun 2013. Aksi damai yang populer dengan simbol rabi’ (empat) jari itu dalam rangka menentang kudeta militer terhadap Muhammad Mursi, presiden sipil yang sedang berkuasa. Selanjutnya, di era kekuasaan militer, Pengadilan Mesir tahun 2018 menjatuhkan vonis hukuman mati terhadap 75 nama. Tuduhannya, tindakan pembunuhan dan perlawanan terhadap aparat keamanan. Pengadilan yang sama menjatuhkan vonis yang berbeda-beda terhadap hampir 600 nama lainnya.

Baca juga:

Dari 12 nama yang divonis hukuman mati terakhir itu semuanya dikenal sebagai ulama atau aktivis demokrasi. Enam orang di antaranya membawa gelar doktor. Mereka antara lain adalah Dr. Abdul Rahman al-Barr, mantan dekan Fakultas Ushuluddin di Universitas Azhar as-Syarif dan dikenal sebagai Mufti Ikhwanul Muslimin. Vonis penjara seumur hidup ditimpakan kepada Dr. Muhammad Badi’, mursyid dari Organisasi Ikhwanul Muslimin di Mesir, dan Dr. Basim Audah, mantan menteri pasokan di era Mursi. Ada pula nama Usamah Muhammad Mursi, putra dari Presiden Mursi, yang divonis 10 tahun penjara.

Berita tentang vonis tersebut segera ditelan media. Merespon itu, dari Turki, Dr. Muhammad Abdul Karim al-Syeikh, Sekertaris Jenderal Rabithah Ulama al-Muslimin, meradang. “Sesungguhnya vonis bernuansa politis,” tulis ulama asal Sudan itu, “yang dikeluarkan oleh Mahkamah Kasasi Mesir hari ini yang menguatkan vonis mati terhadap dua belas jiwa dari kalangan ulama dan dai utama yang dikenal vokal menyuarakan kebenaran serta nasehat; dalam kasus yang dikenal sebagai I’tisham Rabi’atul Adawiyyah tahun 2013 merupakan kesalahan yang nyata, eksploitasi besar, merendahkan harkat kemanusiaan, dan jauh dari prinsip keadilan.”

“Peristiwa ini menuntut sikap yang jelas dari negara-negara Muslim, termasuk lembaga-lembaga dunia, asosiasi ulama, dan organisasi-organisasi hak asazi manusia,” pernyataan al-Syeikh selanjutnya. “Sesungguhnya Rabithah Ulama al-Muslimin menyeru para pemimpin dunia dan komunitas global untuk mengambil peran menghentikan hukum yang eksploitatif ini.

Allah Ta’ala berfirman, “Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya.” (QS. Al-Ma’idah: 32)

Artinya: “Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutuknya serta menyediakan azab yang besar baginya.” (QS. an-Nisa: 93)

Pada hari yang sama, dari Beirut, Ibu Kota Libanon, Hay’ah Ulama al-Muslimin bersuara. Dalam rilisnya, Lembaga ini menulis, “Kami mendapat berita, beserta ummat Muslim dan publik dunia yang merdeka, tentang vonis mati massal yang dikeluarkan oleh rezim kudeta di Bumi Kinanah terhadap beberapa ulama Azhar as-Syarif, dai, dan tokoh intelektual Islam dari kelompok oposisi dan pejuang kebenaran.”

1 2 3Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button