SUARA PEMBACA

Untuk Rakyat Seharusnya Gratis, Berani?

Dalam siaran pers yang diterima detikcom, Kementerian Kesehatan telah membandingkan harga baru tes PCR di Indonesia dengan negara-negara tetangga ASEAN. Indonesia disebut sudah memiliki tarif PCR termurah kedua. Jika dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya, maka harga Test RT PCR di Indonesia termurah kedua setelah negara Vietnam,” tulis Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat, Kemenkes, Widyawati (detik.com, 16/8/2021).

Mengapa baru hari ini tes covid? Sebelumnya, penetapan tarif PCR adalah 900 ribu rupiah. Namun, saat ini harganya diturunkan sekitar 45 persen dari harga awalnya. Prof Abdul Kadir mengatakan penurunan harga ini baru bisa direalisasikan karena adanya penurunan harga reagen dan bahan habis pakai. Misalnya seperti reagen dan juga barang habis pakai.

“Jadi pada tahap-tahap awal, harga reagen yang kita beli itu harganya masih tinggi. Bukan cuma reagennya saja, tetapi harga barang habis pakainya juga masih mengacu pada tahap awal-awal terjadinya pandemi, seperti masker dan baju hazmat,” jelasnya. Prof Kadir juga mengatakan tidak menutup kemungkinan harga tertinggi PCR ini nantinya akan mengalami penurunan lagi. Dengan syarat, dinamika harga barang-barang yang diperlukan juga mengalami penurunan (detik.com, 16/8/2021).

Beginilah keadaannya ketika kita diatur oleh aturan yang berdasar pada kapitalisme. Yang seharusnya tes Covid gratis sebab bagian dari penjaminan negara terhadap kesehatan rakyatnya malah hanya diturunkan. Artinya negara masih setengah hati memelihara kesehatan rakyat sekaligus mengabaikan amanah kepemimpinan yang ada padanya.

“Harga PCR atau swab harus semurah-murahnya!!! Negara harus hadir memastikan ini. Kenapa negara lain bisa lebih murah dari kita saat ini? Bukankah beli bayam 100 selalu lebih murah dari beli bayam 10. Ayolah Bisa! Mohon kendalinya Pak @Jokowi,” tulis Tompi di akun Twitternya.

Nyatanya protes rakyat tak serta merta membuat pemerintah menurunkan harga. Namun negara  mengevaluasi  lembaga-lembaga  penyelenggara tes agar tetap memberi pemasukan bagi negara. Hal ini membuktikan negara selalu bertransaksi dan melakukan perhitungan secara ekonomi dengan rakyat. Bukan melayani atau riayah, Inilah  watak negara kapitalistik.

Menurut Islam, bila test ini  termasuk bagian dari upaya memisahkan antara orang sakit dan sehat sekaligus  satu rangkaian dari penanganan pandemi, maka semestinya bebas biaya.  Bahkan ini harus dilakukan kepada semua orang, dengan tempo singkat. Haram hukumnya negara mengambil pungutan atas layanan yg wajib diberikan negara.

Bagaimana jika negara belum mampu membiayai ini? Jika pendapatan negara berdasarkan utang jelas akan semakin berat bebannya, maka harus dirubah pula mekanisme pembiayaannya, dan itu dengan mekanisme syariat pula, yaitu mengadakan Baitul Mal, dimana pos pendapatannya bukan berasal dari sesuatu yang haram dan majhul ( tidak jelas). Melainkan dari pendapatan yang juga pengadaannya sesuai syariat.

 Inilah kunci negara mandiri dan kuat, tak hanya pandai bersandar kepada negara asing atas nama utang bahkan menjadi pemeras rakyat atas nama pajak. Wallahu a’ lam bish showab.

Rut Sri Wahyuningsih, Institut Literasi dan Peradaban.

Laman sebelumnya 1 2

Artikel Terkait

Back to top button