SIRAH NABAWIYAH

Wajibnya Tabayun

“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS. Al Hujurat [49]: 6).

Asbabun nuzul ayat 6 dari surat Al Hujurat di atas menurut Imam Jalaluddin As Suyuthi dalam kitabnya, Lubaabun Nuquul fi Asbaabun Nuzuul, adalah terkait seorang utusan Rasul bernama Walid bin Uqbah.

Imam Ahmad dan lainnya meriwayatkan dengan sanad yang baik dari Harits bin Dhirar al-Khuza’i yang berkata, ”Suatu ketika, saya mendatangi Rasulullah. Beliau lalu menyeru saya masuk Islam dan saya menyambutnya. Setelah itu, beliau menyeru saya untuk membayar zakat dan saya pun langsung menyetujuinya. Saya kemudian berkata, ‘Wahai Rasulullah, izinkan saya kembali ke tengah-tengah kaum saya agar saya dapat menyeru mereka kepada Islam dan menunaikan zakat. Bagi mereka yang memenuhi seruan saya maka saya akan mengumpulkan zakat mereka. Setelah itu, hendaklah engkau mengutus seorang utusanmu ke Iban dan di sana saya akan menyerahkan zakat yang terkumpul tersebut.”

Setelah Harits menghimpun zakat dari kaumnya, ia lalu berangkat ke Iban. Akan tetapi, sesampainya di sana ternyata ia tidak menemukan utusan Rasulullah. Harits lantas menyangka bahwa telah terjadi sesuatu yang membuat (Allah dan Rasulullah) marah kepadanya. Ia lalu mengumpulkan para pemuka kaumnya dan berkata, ”dan sesungguhnya Rasulullah sebelumnya telah menetapkan waktu dimana beliau akan mengirim utusan untuk menjemput zakat yang telah saya himpun ini. Rasulullah tidak mungkin ingkar janji. Utusan beliau tidak mungkin tidak datang kecuali disebabkan adanya sesuatu yang membuat beliau marah. Oleh sebab itu, mari kita menghadap Rasulullah.”

Sementara itu, Rasulullah mengutus Walid bin Uqbah untuk mengambil zakat dari kaum Harits. Namun, ketika baru berjalan beberapa lama, timbul perasaan takut dalam diri Walid sehingga ia pun kembali pulang (ke Madinah). Sesampainya di hadapan Rasulullah, ia berkata, ”Sesungguhnya Harits menolak untuk menyerahkan zakat yang dijanjikannya. Bahkan ia juga bermaksud membunuh saya.”

Mendengar hal itu, Rasulullah segera mengirim utusan untuk menemui Harits. Ketika melihat utusan tersebut, Harits dan kaumnya dengan cepat menghampiri mereka seraya bertanya, ”Kemana kalian diutus?”

Utusan Rasulullah itu menjawab,”kepadamu,”

Harits bertanya,”Kenapa?

Mereka menjawab, ”Sesungguhnya Rasulullah telah mengutus Walid bin Uqbah kepadamu. Akan tetapi, ia melaporkan bahwa engkau telah menolak menyerahan zakat dan juga bermaksud membunuhnya.”

Dengan kaget, Harits menjawab, “Demi Allah yang mengutus Muhammad dengan membawa kebenaran, saya sungguh tidak melihatnya dan ia tidak pernah mendatangi saya.”

Pada saat Harits menemui Rasulullah, beliau langsung berkata, “Apakah engkau memang menolak untuk menyerahkan zakatmu dan juga bermaksud membunuh utusan saya?”

Ia lalu menjawab, “Demi Zat yang mengutus Engkau dengan membawa kebenaran, saya tidak pernah melakukannya.” Tidak lama berselang, turunlah ayat, “Wahai orang-orang yang beriman, jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya…” hingga ayat 8, “Sebagai karunia dan nikmat dari Allah. Dan Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana.”

Karena itulah berkaitan dengan ayat di atas, Imam Jalaluddin Al Mahalli dan Imam Jalaluddin As-Suyuthi dalam Tafsir Jalalain menerangkan bahwa Allah SWT memerintahkan kepada kita orang-orang mukmin dalam menghadapi berita yang dibawa oleh orang-orang fasik agar memeriksa terlebih dahulu benar tidaknya berita itu. Khawatir kalau-kalau kita menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum lantaran ketidaktahuan sehingga menyesal karena melakukan kesalahan tersebut.

Di era informasi yang sedemikian cepat seperti sekarang, melakukan tabayun atas suatu berita adalah suatu keniscayaan. Apalagi jika berita itu disampaikan oleh media-media sekuler dan liberal yang jelas memusuhi Islam dan umatnya.

Informasi dari media-media massa itu, baik siaran televisi, radio, koran, majalah, daring, dan sejenisnya janganlah ditelan mentah-mentah. Teliti dan berhati-hati dalam menyebarkan kembali. Wallahu a’lam bissawab.

Shodiq Ramadhan

Artikel Terkait

Back to top button