MASAIL FIQHIYAH

Wanita Tak Dilarang Jadi Direktur

Assalamu’alaikum wr wb. Pak Kiai, bagaimana hukumnya dan seharusnya jika suatu lembaga keuangan syariah dipimpin oleh seorang wanita?. Wassalam

Moh. Taufik, Tasikmalaya

Wa’alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh

Saudara Taufik, Islam tidak melarang seorang wanita untuk bekerja, berwirausaha, menjadi PNS, hakim, kepala sekolah, karyawan swasta, bahkan menjadi pimpinan instansi/ perusahaan sekalipun. Tidak ada nash yang melarang hal itu, termasuk untuk menjadi pimpinan di lembaga keuangan syariah. Baik sebagai direktur, manajer, kepala bagian maupun kepala cabang. Asal ia dinilai telah memenuhi syarat dan memiliki kemampuan/keahlian di bidangnya maka wanita boleh menduduki jabatan-jabatan tersebut.

Yang tidak diperbolehkan dalam Islam adalah wanita menjadi kepala negara/kepala pemerintahan dan jabatan-jabatan kekuasaan di bawahnya seperti wali (gubernur) dan amil (bupati/walikota). Hai ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abi Bakrah yang mengatakan: “Ketika sampai berita kepada Rasulullah saw. bahwa bangsa Persia telah mengangkat putri Kisra sebagai ratu, maka beliau bersabda: “Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang menyerahkan kekuasaan (pemerintahan) mereka kepada seorang wanita.” (HR. Bukhari)

Berdasarkan hadits di atas, yang dimaksud dengan larangan menyerahkan kekuasaan kepada seorang wanita adalah larangan bagi wanita untuk menduduki jabatan khalifah (kepala negara/pemerintahan) dan jabatan-jabatan kekuasaan di bawahnya. Sebab, dalam konteks hadits itu yang dibicarakan adalah pengangkatan putri Kisra sebagai ratu yang berkuasa.

Jadi persoalannya adalah khusus mengenai kekuasaan pemerintahan, bukan khusus mengenai kejadian diangkatnya putri Kisra saja. Jadi hadits di atas tidak mencakup segala hal. Oleh karena itu, larangan ini tidak mencakup hal-hal lain selain kekuasaan pemerintahan, seperti kekuasaan perusahaan, yayasan, lembaga sosial, lembaga keuangan maupun pendidikan.

Maka selain urusan kekuasaan pemerintahan, wanita boleh menduduki jabatan itu. Atas dasar inilah, wanita diperbolehkan menjadi pegawai negara (PNS), karena urusan semacam ini tidak termasuk urusan pemerintahan, melainkan termasuk dalam katagori ijarah (kontrak kerja).

Wanita juga diperbolehkan menjadi hakim (qadhi), karena qadhi bukanlah penguasa. Ia hanyalah orang yang memutuskan persengketaan di antara anggota masyarakat dan memberitahukan hukum syara’ yang bersifat mengikat kepada pihak-pihak yang bersengketa. Jadi seorang qadhi adalah pegawai, bukan penguasa. Khalifah Umar bin Khaththab juga pernah mengangkat Asy Syifa’ (seorang wanita) untuk menjadi qadhi hisbah. Wallahu a’lam bishawab.

Artikel Terkait

Back to top button