Warisan Tjokroaminoto: Islam dan Sosialisme
Tjokro memang hebat. Bersama Samanhoedi, ia merawat dan membesarkan Sarekat Islam (SI) yang berdiri di Solo 1912. Empat tahun setelah didirikan, perserikatan itu memiliki lebih dari 180 cabang dengan 700 ribu anggota, 20 kali lipat dari jumlah awalnya.
Berbeda dengan Boedi Oetomo, pergerakan kebangsaan yang elitis dan khusus orang Jawa, Sarekat Islam anggotanya ‘seluruh Nusantara’ dan meniadakan hirarki Jawa-Belanda atau bangsawan dan rakyat biasa. Pemimpin-pemimpin SI duduk sejajar dengan pejabat Belanda, sambil menyerukan bahwa kaum Pribumi sama-sama manusia seperti orang Belanda. Pada saat itu pribumi dijuluki Belanda sebagai “seperempat manusia”.
Dengan adanya SI, rakyat biasa seperti memiliki identitas baru. Mereka sangat antusias ketika kongres SI pertama diadakan di Solo, 1913.
“Pukul setengah enam sore di stadium NIS, Balapan Solo, orang-orang berdesakan. Mereka menumpang kereta api yang baru tiba dan penjemputnya. Berpuluh-puluh andong, semua berbendera dengan tulisan SI, penanda kereta kuda itu telah disewa perkumpulan Sarekat Islam. Orang yang bukan anggota SI dan tidak dijemput kendaraan terpaksa berjalan kaki. Tidak ada satu andong pun yang tidak berbendera SI. Di situ semua orang Islam menunjukkan sepakatnya hati seorang dengan yang lainnya. Di jalan-jalan semua anggota SI menunjukkan kesenangannya. Semua kereta SI menuju Kampung Kabangan, tempat vergadering Bestuur –kongres- digelar.”
Tjokro memang hebat dalam pidato. Tulisan-tulisannya kalah menarik dengan pidatonya. Ia mampu menumbuhkan harapan kepada rakyat. Sehingga rakyat jelata menanganggapnya sebagai “Ratu Adil”. Pemerintah Belanda menjulukinya “Raja tanpa Mahkota”. Dan kini ia dijuluki sebagai bapak pendiri bangsa. “Semua tokoh yang berpisah jalan pada 1940-an pernah makan (mondok) di rumah Tjokro,”kata Sejarawan Anhar Gonggong kepada wartawan Tempo. Mereka antara lain Soekarno, Musso, Kartosoewirjo, dan Tan Malaka.
Ketika menggambarkan seorang guru pemimpin bangsa Indonesia ini, penulis Mohamad Roem menggambarkan kepribadian Tjokroaminoto dengan rinci dan sangat bagus. Menurut Roem, Pak Tjokro senantiasa memakai pakaian Jawa tradisionil. Blankon, jas tutup, kain panjang dan sandal. Saudara Anwar Tjokroaminoto baru-baru ini menerangkan kepada penulis, bahwa ia pun hanya ingat ayahnya memakai pakaian itu.
Perkenalan Roem dengan para pemuda Islam terpelajar yang tergabung dalam Young Islamieten Bond (Serikat Pemuda Islam), dengan Pak Tjokro mulai di tahun 1925, sesudah JIB didirikan. Perkenalan pertama berlangsung di Jakarta di rumah Pak Haji A Salim yang menjadi penasehat JIB. Tapi Pak Tjokro hadir waktu pada akhir tahun 1924 di Yogyakarta, Pak Syamsyurijal mengambil insiatip untuk mendirikan perkumpulan itu, dalam sebuah ruangan yang diterangi dengan lampu teplok. Dan Pak Tjokro ikut merestui pendirian itu.
Penulis Belanda PF Dahler menyebut, Tjokroaminoto memiliki “een mole, krachtige baritone stem” (suara yang merdu dan berat kuat). Istilah “baritone” mempunyai arti yang khusus dalam seni musik. Mohammad Roem pernah mendengarkan Pak Tjokro berpidato di rapat umum yang dihadiri oleh beberapa ribu orang. Orang di baris depan mendengar suara Pak Tjokro sama kerasnya dengan orang yang duduk di baris belakang, kecuali ia (juga) mampu mengikat perhatian pendengar berjam-jam…
Kalau dengan perkataan tidak akan cukup untuk menggambarkan bagaimana Tjokroaminoto berpidato, Roem mempersilakan orang mendengar dan melihat Soekarno atau Harsono (anak Tjokroaminoto –pen) berpidato, kira-kira begitulah gaya dan nada Tjokroaminoto.”. (Lihat Majalah Kiblat, Agustus 1972 dalam Buku “Bunga Rampai Dari Sejarah (II)”, Mohamad Roem, Bulan Bintang, 1977).
Tjokro memang luar biasa. Ialah yang menyusun anggaran dasar dan membentuk struktur organisasi SI dengan jelas. Saat itu ia menjadi orang yang paling berpengaruh di Sarekat. Ia membesarkan SI dengan suara, gagasan, media massa dan pertemuan-pertemuan.
‘Gatutkoco Sarekat Islam’ ini lahir di Bakur, Madiun pada 16 Agustus 1882. Tjokro berasal dari keluarga bangsawan. Ia menyelesaikan sekolah administrasi pemerintahan di Magelang, Jawa Tengah. Setelah itu ia menjadi pegawai pemerintah sebagai juru tulis Patih Ngawi selama tiga tahun. Ia kemudian diangkat menjadi patih. Lalu sifat pemberontakannya muncul. Ia meninggalkan jabatan itu untuk pindah ke Surabaya, tempat ia bekerja pada sebuah perusahaan Belanda.