NUIM HIDAYAT

Warisan Tjokroaminoto: Islam dan Sosialisme

Di Surabaya, hidupnya sederhana. Rumahnya berada di tengah-tengah perkampungan padat, beberapa puluh meter dari Kali Mas yang membelah kota Surabaya. Ia tinggal bersama istrinya, Soeharsikin, dan lima anaknya –Oetari, Oetarjo Anwar, Harsono, Islamiyah dan Sujud Ahmad. Mereka sekeluarga tinggal di bagian depan. Bagian belakang rumah disekat menjadi 10 kamar kecil-kecil tempat kos pemuda, seperti Soekarno, Alimin, Muso, Kartosoewirjo dan Semaoen. Mereka menemukan dunia dari pemimpin pergerakan yang hebat saat itu: sang Raja tanpa Mahkota. Sayang mereka berpisah jalan dengan Tjokro. Sebagian besar mereka mengikuti ideologi Marxisme, meninggalkan ideologi Islam sang Raja.

Pada 1919, Sarekat Islam memiliki sekitar 2,5 juta pengikut dari seluruh Indonesia. Oleh umatnya Tjokro dianggap juru selamat. Dalam ramalan Jayabaya, ratu adil bergelar Prabu Heru Tjokro –nama yang mirip Tjokroaminoto.

Haji Agoes Salim, pemimpin Sarekat Islam lainnya, memberikan kesaksian tentang Tjokroaminoto yang dielu-elukan pengikutnya. Dalam Sarekat Islam Gerakan Ratu Adil? Karangan APE Korver, pada 1919 Agus Salim menceritakan suasana Kongres Sarekat Islam di Situbondo, Jawa Timur.

“Menjelang rapat, 20 ribu orang memadati alun-alun yang menjadi tempat pertemuan. Semula panitia membatasi peserta hanya 7000 orang pemegang kartu anggota organisasi. “Walaupun dilarang berjabat tangan dengan Tjokroaminoto, orang-orang tetap berdesakan. Mereka ingin melihat wajah sang pemimpin.”

Ribuan orang merengsek ke depan agar bisa memegang dan mencium tangan, bahu, dan jas Tjokroaminoto. Sulit bernafas karena didesak pendukungnya, Tjokroaminoto melompat ke kursi. Tapi pengikutnya malah memeluk kaki. Mereka yang tak menjangkau Tjokroaminoto beralih memegang orang dekat di sekitarnya.

Kerumunan itu tak peduli meskipun orang dekat Tjokroaminoto berteriak bahwa mereka bukan pemimpin Sarekat Islam. “Tidak apalah, Anda kan patihnya?”jawab orang-orang itu seperti diceritakan Agoes Salim. Sambutan serupa juga terjadi di daerah lain yang dikunjungi Tjokroaminoto.

Senin Kliwon, 10 Ramadhan 1353H, atau 17 Desember 1934, Tjokroaminoto menghembuskan nafas terakhir di pangkuan aktivis Partai Sarekat, Resoramli.

***

Salah satu buku monumental yang ditulisnya adalah “Islam dan Sosialisme.” Di sini menunjukkan Tjokro bukan hanya pintar berpidato, tapi juga lihai menulis. Ia mendalami sosialisme langsung lewat tokoh-tokohnya, di samping juga mendalami Islam lewat hadits-hadits Rasulullah Saw.

Menurut Tjokro, perkataan sosialisme awalnya berasal dari bahasa Latin, Socius, yang maknanya dalam bahasa Belanda maker. Dalam bahasa Melayu teman, dalam bahasa Jawa kita, dan dalam bahasa Arab sahabat atau asyrat.

Jadi dalam paham sosialisme, berakar angan-angan (pikiran) yang nikmat, yaitu angan-angan het kemeroad schappelike (kemeroadchap), pertemanan, muhasabah atau muasyarah kekancan. Sosialisme mengutamakan paham pertemanan atau persahabatan. Itu bertentangan sama sekali dengan paham individualism yang hanya mengutamakan kepentingan individu (seorang bagi dirinya sendiri).

Sosialisme menghendaki cara hidup satu buat semua, semua buat satu, yaitu cara hidup yang hendak menunjukkan kepada kita, bahwa kita memikul tanggungjawab atas perbuatan kita satu sama lain. Individualisme mengutamakan paham, tiap-tiap orang buat dirinya sendiri.

Laman sebelumnya 1 2 3Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button