OPINI

198 Pesantren Terafiliasi Terorisme, Data BNPT Ngawur?

Data yang dikeluarkan BNPT terkait 198 pondok pesantren terafiliasi terorisme mendapat respon dari berbagai tokoh umat Islam seperti Prof. Didin Hafidhuddin, tokoh Muhammadiyah Buya Anwar Abbas, MS Kaban dan tokoh Islam lainnya. Data ini tidak saja tidak akurat, tidak valid , sangat jauh dari kebenaran dan terkesan asal-asalan dan ngawur.

Berikut catatan saya terkait data 198 Pondok Pesantren terafiliasi terorisme:

Pertama: Penyebutan podok pesantren terafiliasi terrorisme merupakan tindakan tidak fair dan tidak adil dan terkesan menyudutkan Islam dan umat Islam, kenapa? Bukankah ada pendeta yang memberikan senjata kepada kelompok bersenjata Papua, dan jelas kelompok bersenjata di Papua adalah teroris kalau melihat definisi dari buku BNPT, lalu yang menjadi pertanyaan kenapa tidak ada penelitian terhadap lembaga pendidikan Kristen atau Katolik, kenapa hanya Islam melalui penelitian 198 pondok pesantren terafiliasi terorisme?

Kedua: Judulnya 198 pondok pesantren terafiliasi terorisme, namun faktanya dalam data BNPT keliru menyebutkan ormas Islam legal dan berbadan hukum resmi seperti Wahdah Islamiyah, Hidayatullah sebagai pondok pesantren. Jelas ini data ngawur dan para peneliti yang ada dan memberikan data di BNPT tidak professional dan tidak menguasai data, belum lagi data terkait Radio Dakta yang dikelompokkan sebagai pondok?

Ketiga: Penyebutan dua lembaga yang sudah bubar, penyebutan dua lembaga pendidikan yang dianggap pondok milik petinggi ISIS seperti pondok Anshorullah milik Fauzan Al Anshari dan Pondok Ibnu Mas’ud milik Aman Abdurahman adalah data yang keliru, lembaga pendidikan itu sudah bubar lama semenjak pemiliknya meninggal dan ditangkap oleh Densus 88. Dan hasil penelitian saya terhadap dua lembaga ini dalam disertasi saya memang sudah bubar. Sehingga penyebutan dua lembaga ini sudah sangat tidak relevan, tidak valid dan hanya bermotivasi menambah jumlah pondok pesantren biar terlihat banyak dan bombastis.

Keempat: Penyebutan salah satu Radio Dakta di Bekasi, karena dalam sepak terjang Radio Dakta selalu kritis dan mengkritisi pemerintah terlalu berlebihan dan dipaksakan. Definisi terorisme yang didefinisikan oleh BNPT menjadi hambar dan basi ketika menarik Radio Dakta menjadi kelompok pondok yang terafiliasi. Apakah kritis dan mengkritisi pemerintah merupakan ciri dan definisi terorisme yang baru?

Jika dikaitkan dengan Farid Okbah yang menjadi salah satu narasumber kajian Islam di Dakta sebagai asas untuk mengaitkan dakta dengan terorisme, maka istana negara pun bisa jadi lembaga baru terorisme karena pernah disinggahi oleh Farid Okbah ketika memberikan nasihat kepada Presiden Joko Widodo.

Kelima: Penyebutan beberapa pondok besar di bawah Kementerian Agama, seperti Pondok Al Mukmin, Ngruki dan pondok lainnya menandakan standar dan definisi terorisme antara BNPT dan Kemenag berbeda. Lembaga-lembaga pondok yang sudah terdaftar resmi dan berada dalam Kementerian Agama adalah lembaga yang sudah diakui oleh negara secara kelembagaannya, sehingga menyebutkan dan mengategorikannya sebagai lembaga pondok yang terafiliasi terorisme sama saja dengan tidak mengakui legalisasi yang sudah diberikan negara.

Jika ada satu atau dua orang lulusan pondok tersebut yang terlibat aksi terorisme maka tidak serta merta bisa menyebutkan pondok tersebut sebagai pondok terafiliasi terorisme, sebagaimana ketika ada satu atau dua orang anggota kepolisan yang melakukan kejahatan korupsi maka kita tidak bisa mengatakan lembaga kepolisian sebagai lembaga yang terafiliasi dengan korupsi.

Dari data yang sudah terlanjur dilempar dan diketahu publik ini, kiranya menjadi pelajaran untuk BNPT untuk lebih berhari-hati dalam mengeluarkan data karena bisa berisi hoax, pencemaran nama baik lembaga. Jika seorang yang menyebarkan berita bohong, hoax dan membuat kegaduhan bisa dikenakan pidana, lalu bagaimana jika itu dilakukan oleh lembaga negara seperti BNPT? Cukupkah hanya minta maaf saja dan meralat release-nya atau adakah tindakan proses hukum berkaitan dengannya?

Indra Martian Permana, Direktur Kajian dan Diklat CSIL.

Laman sebelumnya 1 2

Artikel Terkait

Back to top button