Kisah Dakwah Dai Muda di Kaki Bromo
Probolinggo (SI Online) – “Saya kan dari Pasuruan, daerah pantai yang panas. Ditempatkan di sini, di kaki Gunung Bromo, yang sangat dingin. Tiga hari pertama di sini saya tidak mandi. Kalau tidur pakai kain berlapis-lapis. Celana panjang, kaos kaki, sarung, kaos, baju hangat, selimut, dan tudung Bromo. Hari keempat bertepatan Jumat, kalau nggak mandi gimana. Akhirnya saya mandi untuk pertama kali.’’
Demikian tutur Ustaz Muhibbin (27), pengampu Rumah Qur’an Bromo, Jawa Timur, dalam dialog dengan Kafilah Daqu Post Daarul Qur’an di Probolinggo, Jawa Timur, Jumat (18/1) malam.
Ustaz Muhib alumnus Pondok Pesantren Sidogiri, Kraton, Pasuruan. Setelah lulus mondok, pada 2015 ia ditugaskan mengabdi di Rumah Qur’an Bromo yang terletak di Dusun Krajan, Desa Wonokerto, Kec Sukapura, Kab Probolinggo, Jatim.
Rumah Qur’an Bromo dibangun pada 2009 dengan swadaya masyarakat dan dukungan PPPA Daarul Qur’an. Penggeraknya adalah Sumarjono alias Jono (alm) dan Ustaz Setiyono dai setempat. Markas dakwah itu terdiri bangunan aula dan Mushola Al-Ikhlas wal Barakah.
Saat mulai mengabdi di sini, Ustaz Muhib bukan hanya kedinginan. Ia juga musti berhadapan dengan ‘’dingin’’-nya sambutan masyarakat. Maklumlah, warga muslim Dusun Krajan jadi minoritas di kawasan Suku Tengger. Mereka hidup berbatasan langsung dengan empat dusun yang penduduknya beragama Hindu.
Selain terpengaruh sinkretisme budaya, Krajan juga terkenal sebagai basis premanisme. Jono, perintis Rumah Qur’an Bromo, tak lain adalah salah satu ‘’peman pensiun’’ dari sini.
Mulanya, Muhib memang sempat shock. Saat ia memberi nasehat atau mengajak ibadah kepada warga yang ditemuinya di jalan, jawaban yang dia terima: ‘’Ustaz, kalau ceramah di mesjid saja!’’.