Jangan Makan Riba, Berat. Kamu Gak akan Kuat!
Kamu mungkin sudah bosan membaca artikel, penjelasan, stop motion atau berbagai konten kreatif yang mencoba menjelaskan bagaimana riba diharamkan. Tentunya konten-konten tersebut sangat memudahkan untuk menjelaskan bagaimana riba diharamkan dari sudut pandang Islam. Bagaimana landasan syariah berupa ayat-ayat Qur’an. Tahap-tahapan pengharaman riba, jenis-jenis riba, penjelasan riba yang berbeda dengan margin dan seterusnya.
Bukan bermaksud untuk menghentikan tersebarnya konten-konten semacam itu namun seringkali kebaikan-kebaikan yang ingin disebarkan melewatkan sudut pandang yang sangat penting dari sekadar mengharamkan dan ujung-ujungnya hanya kampanye untuk meninggalkan produk-produk keuangan konvensional.
Jika konsep bagaimana pemahaman tentang zalim dan tidak masuk akalnya riba terlewatkan. Tentu, tidak heran jika umat Islam sendiri memiliki minat yang rendah untuk beralih ke produk-produk keuangan syariah. Selain itu, dengan tidak dimunculkannya pemahaman akan konsep dasar dari riba khawatir akan muncul celah apabila riba sendiri dimodifikasi agar terlihat lebih modern.
Untuk memahamkan tentang riba, mungkin akan lebih mudah jika memulainya dari bagaimana terlahirnya uang lewat cerita berikut ini.
Pada sebuah pulau kecil diisi oleh 10 orang yang bekerja dengan keahliannya masing-masing. Ada yang beternak sehingga memiliki banyak sapi, kambing dan ayam. Kemudian ada yang bertani sehingga memiliki padi, sayuran dan buah-buahan. Biasanya dalam pulau ini penduduk melakukan barter ketika membutuhkan benda lain untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Kemudian, pada suatu hari datang seorang pria yang menawarkan ide untuk menggunakan uang kertas buatannya. Dengan dalih bagaimana mungkin kamu menukar seekor sapi dengan sekarung padi? Yang ingin dikatakan pria ini adalah bagaimana mungkin menukar hal yang tidak senilai. Pria tersebut kemudian membuat 100 lembar uang kertas dan akan ‘meminjamkan’ kepada penduduk disana untuk digunakan ketika bertransaksi. Caranya, penduduk yang ingin meminjam uang kertas kepada pria ini dapat menukarkannya dengan aset-aset yang dimiliki seperti hasil bertani dan beternak. Kemudian ada satu syarat yang harus dipenuhi. Yaitu setiap orang yang diberi pinjaman harus menambah satu lembar uang kertas ketika akan dikembalikan.
Singkat cerita, satu persatu penduduk pulau tersebut mendatangi si pria dengan uang kertas, untuk menukar hartanya dengan 10 lembar uang kertas. Petani A datang membawa sapi dan menerima 10 lembar uang kertas. Kemudian datang petani B dan menerima 10 lembar uang kertas juga. Terus berdatangan hingga 100 lembar uang yang ada di tangan pria tersebut habis dan tersebar di pulau itu.
Tetapi kepanikan muncul ketika waktunya untuk mengembalikan pinjaman kepada pria tersebut. Sebagai perjanjian di awal setiap warga yang menerima pinjaman tersebut harus mengembalikan 11 lembar uang kertas kepada pria tersebut.
Secara matematis hal ini tentu hal yang mustahil. Kenapa?. Jumlah uang yang dipinjamkan kepada penduduk tadi berjumlah 100 lembar tetapi ketika akan dikembalikan seluruhnya harus berjumlah 110. Sementara yang membuat uang itu adalah pria tadi. Lalu, bagaimana caranya penduduk bisa menambah jumlah 10 uang lembar?. Hal ini menunjukan bahwa secara matematika saja riba sudah tidak masuk akal. Tidak peduli seberapa keras penduduk pulau bekerja, seberapa jujur mereka bekerja seluruh penduduk di pulau ini tidak akan pernah mampu mengembalikan 110 lembar uang kertas kepada pria tadi.
Mungkin untuk sembilan dari 10 penduduk tersebut untuk mengembalikan 11 lembar uang kepada pria tadi. Tapi mustahil jika 10 penduduk memegang 110 lembar uang kertas untuk dikembalikan kepada pria. Jika uang yang dibuat oleh pria tadi saja hanya berjumlah 100 lembar.
Beginilah awal mula riba. Creating money from nothing. Kita tidak membicarakan bagaimana tidak sesuai syariahnya transaksi-transaksi keuangan saat ini karena menggunakan konsep bunga. Karena hal tersebut sudah pasti riba. Tetapi bagaimana transaksi lain yang memiliki konsep yang sama. Seperti ketika menerima atau harus mengembalikan tambahan tetapi datang dari ketiadaan?.
Oleh karena itu tahapan pengharaman riba tidak datang langsung dengan larangan. Inti sari dari QS Ar-Rum (30): 39 hanya menghimbau. Bahwa jenis transaksi yang dilakukan dengan konsep tersebut akan sia-sia disisi Allah SWT. Baru kemudian Allah SWT menyebutkan subjek pelaku riba dan melarang untuk dipraktikkan (QS An-Nisa (4): 160-161). Pada tahapan ketiga baru kemudian Allah SWT mempertegas kepada orang-orang beriman untuk tidak memakan riba yang berlipat ganda (QS Ali-Imran (3): 130).
Penulis sendiri sangat menggaris bawahi pada (QS Ali-Imran (3): 130). Allah SWT menyebutkan dengan tegas dengan membuka ayat dengan kalimat “wahai orang-orang yang beriman”. Hal ini menjadi sinyal kepada orang-orang yang beriman, agar terhidar dari kebodohan (baca: jahil). Karena dari cerita pria dan penduduk pulau saja sudah bisa dilihat bahwa riba sudah salah secara matematis. Sementara Islam adalah agama yang sempurna. Tidak mungkin ada kecacatan dari sudut mana pun pada konsep-konsep dan aturan-aturan yang diterapkan dalam Islam. Bahkan dari segi hitung-hitungan sekalipun.
Terakhir, barulah Allah SWT mengancam dan menjelaskan ganjaran bagi orang-orang yang ‘bandel’ masih terlibat dalam riba. Mereka yang masih terlibat dalam riba tidak akan mampu berdiri kecuali seperti orang gila (QS Al-Baqarah (2): 275). Penulis merasa hal ini pernah terjadi di Indonesia, ketika terjadi krisis moneter di Indonesia tahun 1997-1998. Bahkan yang menyebabkan suku bunga pada saat itu naik hingga 60%. Dari segi logika dengan kembali ke cerita pulau tadi, 10 penduduk di pulau tersebut saja tidak mampu mengembalikan 110 kepada si pria tadi. Lalu bagaimana dengan 60% suku bunga saat krisis? Gak akan kuat!.
Jika logika masih belum cukup untuk menakut-nakuti kita semua, takutlah dengan ancaman riba yang merupakan satu dari 70 dosa besar. Dan, bagaimana Allah SWT dan Rasul-Nya bahkan akan mengangkat senjata untuk berperang dengan para pelaku riba ini. Tetapi yang bertaubat dipersilahkan untuk mengambil pokok dari hartanya (QS Al-Baqarah (2): 279).
Wallahu a’lam bis-shawaab.
Salam Sakinah!
Ratna Komalasari
Peneliti Sakinah Finance