Ketika Jaminan Kesehatan Hanya Angan-angan
Malang tak berkesudahan. Inilah nampaknya yang membayangi kehidupan masyarakat Indonesia kian hari. Ditengah himpitan hidup karena harga bahan pokok yang tak menentu, harga BBM melonjak tajam, kesulitan mencari lapangan pekerjaan, subsidi yang semakin dikurangi, kini ditambah lagi dengan naiknya iuran BPJS kesehatan.
Di lansir dari CNN Indonesia, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Puan Maharani menyatakan kenaikan iuran BPJS Kesehatan akan berlaku mulai 1 September 2019. Puan mengungkapkan kenaikan besaran iuran telah dibahas oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu) bersama Komisi IX dan Komisi XI DPR. Puan berharap dengan kenaikan iuran yang dibarengi oleh perbaikan manajemen, persoalan defisit yang diderita eks PT Asuransi Kesehatan itu bisa diatasi secara bertahap. Dengan demikian, perusahaan tak lagi bergantung kepada suntikan dana dari pemerintah.
Sebagai informasi pemerintah berencana menaikkan iuran kepesertaan BPJS Kesehatan hingga dua kali lipat. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengusulkan peserta kelas mandiri I naik dari Rp80 ribu per bulan menjadi Rp160 ribu per bulan.
Lalu kelas mandiri II naik dari Rp59 ribu per bulan menjadi Rp110 ribu dan iuran kelas mandiri III meningkat menjadi Rp42 ribu dari Rp25.500 per bulan.
Ia menyebut tanpa kenaikan iuran, defisit BPJS Kesehatan tahun ini bisa mencapai Rp32,8 triliun. (https://m.cnnindonesia.com/ekonomi/20190829163859-78-425833/menteri-puan-iuran-bpjs-naik-dua-kali-lipat-per-1-september?utm_source=facebook&utm_medium=oa&utm_content=cnnindonesia&utm_campaign=cmssocmed)
BPJS sebagai salah satu layanan publik yang harusnya meringankan beban rakyat, kini beralih fungsinya menjadi pemalak rakyat. Dengan dalih defisit anggaran seolah-olah menjadikan pemerintah berhak mengatur kebijakan yang mendzolimi rakyat. Upaya itu dimulai dari adanya penyisiran jenis-jenis pelayanan yang bisa ditanggung oleh BPJS atau tidak. Kemudian adanya pemangkasan di berbagai sektor dan kini menaikkan iuran BPJS.
Masih lekang diingatan kita, Setelah sebelumnya per 1 April 2018 BPJS mengambil kebijakan untuk menghapus obat kanker payudara ( Trastuzumab) dari daftar obat yang ditanggung BPJS. Padahal obat ini sangat diperlukan untuk pasien kanker payudara dan terlebih lagi karena obatnya yg relatif mahal. Sebelum dikeluarkan dari daftar, BPJS Kesehatan menanggung pembiayaan Trastuzumab untuk 8 ampul. Harga obat itu bisa mencapai Rp22.400.000 per ampul berisi 440 cc. Biasanya, setiap penderita membutuhkan 350 cc untuk sekali infus.
Belum lagi, Peraturan Jaminan Pelayanan Kesehatan BPJS Kesehatan Nomor 02 tahun 2018 tentang Penjaminan Pelayanan Katarak Dalam Pelayanan Kesehatan, Peraturan Nomor 03 tentang Penjaminan Pelayanan Persalinan dengan Bayi Bar Lahir Sehat, dan Peraturan Nomor 05 tentang Penjaminan Pelayanan Rehabilitasi Medik. Ketiga kebijakan tersebut mempengaruhi pelayanan standar kesehatan kepada masyarakat.
Buruknya pelayanan kesehatan oleh pemerintah lewat lembaga BPJS, semakin menguatkan argumen bahwa pemerintah tidak benar-benar ingin mengurusi rakyat. Pemerintah selama ini menggembar-gemborkan bahwa kesehatan masyarakat akan terjamin dengan ikut program BPJS, namun semakin jelas bahwa semua itu hanya fatamorgana.
Adanya kapitalisasi di sektor kesehatan menjadi salah satu penyebabnya. Sudah menjadi rahasia umum jika sektor kesehatan pun ikut menjadi lahan basah untuk meraup keuntungan. Maka jangan heran jika kesehatan bukan semata-mata untuk kemanusian namun lebih kepada keuntungan materil yang dapat. Dengan asas kapitalisme yang dianut oleh negara ini, menjadikan produk dan jasa layanan publik ibarat barang dagangan. Padahal pemenuhan tanggung jawab akan kesehatan adalah murni tugas negara.
Dalam islam, Jaminan kesehatan wajib diberikan oleh negara secara bebas biaya dan berkualitas untuk seluruh rakyat tanpa kecuali dan tanpa diskriminasi si kaya dan si miskin. Semua mendapat hak yang sama dan terpenuhi askepk. Karena Rasulullah bersabda “Imam (penguasa) adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyatnya.”(HR al-Bukhari dari Abdullah bin Umar ra.).
Begitu pun dengan hadist yang diriwayatkan oleh Imam Muslim bahwa, “Nabi Muhammad saw. pun—dalam kedudukan beliau sebagai kepala negara—pernah mendatangkan dokter untuk mengobati salah seorang warganya, yakni Ubay. Saat Nabi saw. mendapatkan hadiah dokter dari Muqauqis, Raja Mesir, beliau pun menjadikan dokter itu sebagai dokter umum bagi seluruh warganya.”
Ini merupakan dalil bahwa pelayanan kebutuhan dasar masyarakat dalam hal kesehatan yang harus disediakan oleh pemerintah. Artinya, haram negara hanya berfungsi sebagai regulator dan fasilitator, apapun alasannya. Negara sebagai pelaksana syariah secara kaffah, khususnya dalam pengelolaan kekayaan negara menjadikan negara berkemampuan finansial yang memadai untuk menjalankan berbagai fungsi dan tanggungjawabnya. Tidak terkecuali tanggungjawab menjamin pemenuhan hajat setiap orang terhadap pelayanan kesehatan.
Untuk memenuhinya negara menerapkan konsep anggaran mutlak, berapapun biaya yang dibutuhkan harus dipenuhi. Karena negara merupakan perisai utama yang bertanggung jawab dalam menjamin kesejahteraan publik. Demikianlah tuntunan ajaran Islam yang mulia. Hasilnya, rumah sakit, dokter dan para medis tersedia secara memadai dengan sebaran yang memadai pula. Difasilitasi negara dengan berbagai aspek bagi terwujudnya standar pelayanan medis terbaik. Baik aspek penguasaan ilmu pengetahuan dan keahlian terkini, ketersediaan obat dan alat kedokteran terbaik hingga gaji dan beban kerja yang manusiawi.
Tidak seorangpun yang datang ke rumah sakit kecuali pulang dengan rasa terhormat dan perasaan bahagia. Sebab, semua diberi pelayanan terbaik hingga yang berpura-pura sakit sekalipun. Di setiap kota, termasuk kota kecil, terdapat rumah sakit, berikut dengan tenaga kesehatan (dokter, perawat, bidan, dan lain-lain) berkualitas lagi memadai, berikut peralatan medis dan obat-obatan. Bahkan disediakan rumah sakit berjalan, dipenuhi berbagai obat dan peralatan medis serta para dokter dan tenaga medis lainnya. Hal ini disediakan oleh negara untuk mendatangi orang-orang yang beruzur untuk datang ke rumah sakit.
Inilah cerminan periayaahan negara di sektor kesehatan dalam islam. Bertanggungjawab dan berdedikasi tinggi demi untuk meraih ridho Allah semata. Sungguh sebuah kedzholiman menjadikan masyarakat memikul sendiri beban periayahan kesehatan atas dirinya sementara negara ibarat lintah darat yang menghisap habis jerih payah masyarakat dengan berbagai dalih kebijakan. Wallahu a’lam bishshawaab.
Siti Subaidah
(Pemerhati Lingkungan dan Generasi)