BPJS Dipertahankan, Bukti Penguasa Gagal dan Zalim
Indonesia Corruption Watch (ICW) menemukan 49 potensi fraud atau penipuan yang dilakukan baik oleh peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, BPJS sendiri, maupun penyedia obatnya. Perwakilan ICW, Dewi Anggraeni mengatakan, sejak 2017 pihaknya memantau banyak jenis fraud yang dilakukan dalam penyelenggaraan BPJS.
Hasil temuannya di seluruh Indonesia, hampir sama. Dari akar hingga ujung melakukan penipuan dan kecurangan, di lapangan. Banyak ditemukan oknum peserta BPJS Kesehatan yang melakukan kecurangan dengan tidak membayarkan iuran setelah melakukan pengobatan. Ada pula peserta non BPJS Kesehatan manipulasi data menggunakan data peserta BPJS Kesehatan yang terdaftar. Pada level selanjutnya, pukesmas yang melayani peserta BPJS Kesehatan melakukan penipuan berupa penerimaan uang oleh pihak puskesmas untuk mengeluarkan rujukan kepada pasien agar ditangani rumah sakit, padahal masih bisa ditangani oleh puskesmas. Pihak rumah sakit pun melakukan penipuan dengan cara tidak optimalnya penanganan pasien BPJS Kesehatan hingga pasien harus menebus obat sendiri padahal hal tersebut sudah ter-cover oleh BPJS Kesehatan.
Kecurangan dan penipuan yang dilakukan berbagai elemen yang berhubungan di BPJS Kesehatan nyatanya menimbulkan kerugian bagi semuanya. Mulai dari defisitnya BPJS Kesehatan yang angkanya mencapai triliyunan hingga pengadaan sanksi bagi peserta BPJS Kesehatan yang terdaftar. Melalui kerja sama dengan pihak kepolisian, Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil, Badan Pertanahan Negara dan lain-lain dengan basis data yang dimiliki, kemudian BPJS Kesehatan melaksanakan sanksi untuk peserta penunggak iuran BPJS Kesehatan yang tidak bisa mendapatkan pelayanan perpanjang atau pembuatan Surat Izin Mengemudi (SIM), Izin mendirikan bangunan (IMB), paspor, surat tanda nomor kendaraan (STNK) dan Sertifikat tanah. Masalah ini lebih kompleks lagi karena adanya usulan kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang menjadikan masyarakat bertambah khawatir dan resah.
Rumitnya permasalahan yang terjadi bukanlah tanpa sebab yang mendasar, perlu kita pahami bahwa diadakannya asuransi kesehatan yang dibuat oleh negara bukanlah suatu bentuk penjagaan atau suatu ri’ayah untuk rakyat melainkan menjadi sebuah sistem pemalakan pada rakyat. Kegagalan sistem kesehatan ini harus rakyat emban dengan berat, padahal negara yang harus bertanggung jawab atas kerusakan sistemnya sendiri.
Tidak lain ini merupakan buah kegagalan dan kedzaliman penguasa berdasarkan diterapkannya sistem sekuler demokrasi kapitalis neoliberal. Sistem ini berorientasi pada keuntungan yang artinya negara memberikan pelayanan secara tidak cuma-cuma atau gratis. Selain itu pelayanan kesehatan yang ada saat ini juga berdasarkan kemampuan ekonomi masyarakat yang di dalamnya terdapat pengklasifikasian tiap golongan. Pemalakan yang berkedok pelayanan kesehatan ini jelas tertera dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2004, tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, butir ke-3, pasal ke-1, yang berbunyi, “Asuransi sosial adalah suatu mekanisme pengumpulan dana yang bersifat wajib”. Hal tersebut mengakibatkan masyarakat yang tidak mampu sudah jelas tidak mendapatkan layanan kesehatan dan bahkan menerima sanksi jika tidak melakukan pembayaran.
Kondisi pelayanan publik khususnya kesehatan saat ini jauh dari ketentuan Islam. Dalam Islam tanggung jawab pelayanan kesehatan rakyat menjadi tanggung jawab negara dan diurus langsung oleh negara serta menjadi hak rakyatnya. Tindakan diskriminatif atau pengklasifikasian terhadap masyarakat berdasarkan kemampuan ekonomi pun tidak berlaku karena Islam memandang bahwa setiap individu pada elemen masyarakat memiliki hak yang sama baik Muslim maupun non-Muslim. Ini menggambarkan betapa bertolak belakangnya sistem Islam dan sistem sekuler kapitalis.
Dalam sistem Islam, seorang pemimpin harus memastikan terpenuhinya hak dan kebutuhan rakyat serta kewajibannya kepada rakyat, juga termasuk di dalamnya kesehatan. Rasulullah Saw bersabda: “Siapa pun yang mengepalai salah satu urusan kaum Muslimin dan tetap menjauhkan diri dari mereka dan tidak membayar dengan perhatian pada kebutuhan dan kemiskinan mereka, Allah akan tetap jauh dari dirinya pada hari kiamat…. “ (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, Al-Hakim). Hadis tersebut menjelaskan bagaimana konsekuensi dan pentingnya tanggung jawab sebagai pemimpin.
Ini menggambarkan betapa bertolak belakangnya sistem Islam dan sistem sekuler kapitalis. Maka dengan itu sudah sepatutnya masyarakat sadar bahwa sistem yang ada saat ini hanya membawa kesengsaraan dan penerapan syariat Islam secara kaaffah menjadi urgensi saat ini, demi terwujudnya kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat yang hakiki. []
Yusly Aenul Kamaliya
(Mahasiswa Prodi Ilmu Sejarah, Universitas Indonesia)