Formula E Dihambat, Kata Siapa?
Setelah proyek revitalisasi Monas diganggu, kini giliran event Formula E dihambat, kata netizen. Gak capek-capeknya menghadang Anies. Begitu keluh mereka. Keluhan ini bisa dimengerti mengingat banyak kasus dimana ada pihak-pihak yang tak ingin Anies mendapat apresiasi publik.
Soal Kemensetneg keberatan jika Monas dijadikan lintasan Formula E menuai banyak kritik. Jika alasannya cagar budaya, justru malah aneh. Sebab, di berbagai negara cagar budaya dijadikan ajang promosi nasional.
Formula E adalah event internasional. Banyak negara hadir disitu. Diliput berbagai media manca negara. Jika Monas nampak dan ikut jadi berita, tidakkah ini jadi promosi luar biasa.
Di sinilah Anies lagi-lagi diuji kemampuannya dalam berkomunikasi. Soal yang satu ini, Anies punya kemampuan di atas rata-rata pemimpin di Indonesia. Semua bisa diselesaikan ketika sudah ada interaksi. Kemampuan menyajikan data akurat dan meramu logika, Anies jagonya. Anies terukur dalam bernegosiasi. Selama ini efektif tanpa kegaduhan. Revitalisasi sebagai salah satu contohnya. Sejumlah kementerian ribut soal surat ijin dan penebangan pohon, Anies datang dan duduk satu meja, kelar. Gak perlu banyak ngomong di media.
Apalagi jika Pak Jokowi ijinkan. Lah kok? Pak Jokowi adalah seorang politisi. Politisi biasanya punya kalkulasi rasional. Pertama, Formula E adalah event internasional. Kesempatan Indonesia menjadikannya sebagai ajang promosi. Kecil kemungkinan presiden gak dukung. Suksesnya ajang Formula E tak hanya mengibarkan Indonesia, tapi juga mengangkat nama Pak Jokowi. Begitu juga sebaliknya jika gagal. Sebab itu, tak ada alasan bagi pemerintah pusat untuk tidak full mendukung. Pak Jokowi juga pasti berkepentingan di ajang ini. Kolaborasi pusat-pemprov DKI menjadi keniscayaan. Indahnya jika pemerintah pusat dan pemerintah ibu kota kompak. Sedap!
Kedua, Pak Jokowi butuh Anies tidak hanya saat ini, tapi terutama di 2024. Rakyat makin hari makin besar harapannya terhadap Anies untuk menjadi presiden 2024. Ini bisa dilihat dari hasil survei, polling dan ramainya perbincangan di media maupun medsos. Rangking Anies tertinggi. Tak ada indikator menurun. Belum ada tokoh yang saat ini terindikasi mampu menyalib popularitas dan elektabilitas Anies. Ini riil dan terukur. Anies Rising Star. Seperti Pak Jokowi di 2014.
Tak ada pilihan lain bagi Pak Jokowi kecuali dukung dan support Anies. Ini untuk kepentingan Pak Jokowi pasca 2024. Mungkin tak hanya Pak Jokowi, tapi juga partai politik dan tokoh-tokoh lain. Justru tak rasional kalau harus terus berseberangan dengan tokoh yang sedang didukung rakyat. Blunder! Bisa jadi langkah bunuh diri.
Bagi Anies, kepentingan bangsa itulah yang utama. Siap bekerjasama dan berkolaborasi dengan siapapun jika itu untuk kemajuan bangsa. Maka, merangkul adalah strategi yang paling efektif untuk membangun bangsa kedepan.
Di Jakarta, Anies membuktikan strategi ini. Merangkul semua pihak, termasuk mereka yang bukan saja non-pendukung, bahkan juga para hatersnya. Cara ini dipilih, karena sangat efektif bagi pemimpin untuk bekerja. Maka, jangan berharap Anies melaporkan para haters dan pencaci itu ke polisi. Apalagi menggunakan jasa biro hukumnya. Gak bakal! Karena langkah ini justru akan merusak kolaborasi dan dukungan kinerja. Kontra produktif.
Lalu, bagaimana dengan kemensesneg yang keberatan Monas dijadikan lintasan Formula E? Anies cukup sowan sekali lagi, duduk satu meja, bicara dari hati ke hati, beres! Pak Jokowi pun kemungkinan akan dukung, karena itu menjadi bagian dari kepentingan nasional.
Jakarta, 8/2/2020
Tony Rosyid
Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa