Anti Kritik: Inkonsistensi Demokrasi
Jagat twitter kembali ramai dengan perbincangan sebuah mural. Mural bergambar mirip Presiden Jokowi bertuliskan “404 Not Found” di Kawasan Batuceper, Kota Tangerang, menjadi trending twitter dengan hastag #Jokowi404NotFound, Sabtu tanggal 14 Agustus tadi (kompas.com, 15/08/2021).
Selain menjadi perbincangan netizen, mural tersebut memberi pekerjaan baru untuk aparat: menghapus mural. Tak cukup menghapusnya, polisi kini memburu pembuat mural. Polisi telah menanyai dua orang saksi untuk mengusut pembuat mural.
Dan bukan kali ini saja dilakukan penghapusan mural berbau kritik oleh aparat kepolisian. Sebelumnya ada mural “Tuhan Aku Lapar” di Tigaraksa, Kabupaten Tangerang, juga dihapus. Adapula mural bergambar 2 karakter menyerupai hewan dengan tulisan “Dipaksa Sehat di Negara yang Sakit” di tembok sebuah rumah kosong di Bangil, juga bernasib sama.
Tanggapan pemerintah terkait dengan maraknya mural, disampaikan oleh Faldo Maldini, Staf Khusus Kementerian Sekretaris Negara Bidang Komunikasi. Politikus PSI ini menyatakan bahwa tidak ada masalah dengan mural selama mengantongi izin. Jika tidak ada izin berarti pembuatan mural melawan hukum, artinya sewenang-wenang (cnnindonesia.com, 13/08/2021).
KUHP menjadi alat untuk menjerat pembuat mural. Adapula Perda larangan mencorat-coret yang siap mengadang. Dan UU tentang simbol negara digadang-gadang akan dipakai untuk pembuat mural mirip presiden.
Mural adalah seni jalanan (street art) yang telah ada sejak dulu. Selain sebagai ekspresi seni, terkadang mural digunakan sebagai wadah menyampaikan pendapat dan kritik sosial. Dulu mural dianggap sebagai urban kill, hanya mengotori kota. Seiring dengan perkembangan zaman, mural berintegrasi dengan tata kota dan arsitektur.
Sebenarnya para seniman street art sudah terbiasa dengan hapus menghapus karya. Buatan mereka ditindih oleh kelompok lain, udah biasa. Dihapus oleh Satpol PP pun sudah sering. Mereka menyadari konsekuensi dari aksi ilegal ini. Namun ketika saat ini mereka diburu dan dikriminalisasi, diduga kuat ada inkonsistensi dalam demokrasi.
Mural-mural berisi kritik sosial itu viral bersamaan dengan pandemi yang berlarut-larut. Apa yang dirasakan rakyat saat ini seakan terwakili oleh mural dan grafiti tersebut. Kesulitan ekonomi, gelombang PHK massal, PPKM yang membuat mereka yang berpenghasilan harian menjerit.
Benar-benar dipaksa sehat di negara yang sakit. Wajib sehat demi dapur bisa ngebul, berani keluar rumah meski Covid-19 mengancam. Sebab minimnya testing oleh negara membuat tak lagi bisa dipisahkan antara yang sakit dan yang sehat.
Negara belum sepenuhnya hadir untuk rakyat. Pandemi masih berlangsung namun sudah menyiapkan pemilu 2024, perang baliho, mengecat pesawat kepresidenan, bahkan ada pejabat yang asyik nonton sinetron. Minim empati.
Dan demi menyalurkan apa yang dirasakan, digunakanlah berbagai media, termasuk mural. Namun, reaksi yang diberikan pemerintah terkesan berlebihan dan terlihat inkonsistensi. Jika mural-mural dianggap mengotori kota, apa bedanya dengan poster dan baliho bermuatan politik?
Ada dua perbedaannya. Pertama, masalah izin. Mural tak berizin alias ilegal, sedangkan baliho segede gaban dan bikin sakit mata itu mengantongi izin. Perizinan ini erat kaitannya dengan duit yang dibayarkan agar mendapatkan izin. Kedua, masalah konten. Mural berisi kritik sosial yang bisa menurunkan kredibilitas pemerintah. Sedangkan baliho hanya kampanye rekan politik yang kelak akan mendukung kekuasaannya.