Memelihara Aliran Sesat, Menyemai Konflik Sosial
Ratusan orang membakar masjid milik Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Sintang, Kalimantan Barat (Kompas.com, 04/09/2021).
Kejadian pada Jumat (03/09/2021) itu dipicu rasa kecewa dari masyarakat kepada Pemkab Sintang. Pemkab hanya menghentikan operasional di tempat ibadah, sedangkan masyarakat menginginkan agar tempat ibadah itu dibongkar.
Kejadian di Sintang bukanlah kali pertama. Tahun 2018, anggota jamaah Ahmadiyah di Lombok Timur, diserang dan diusir (Tempo.co, 20/05/2018). Hingga saat ini, mereka masih berada di pengungsian.
Sebenarnya sudah ada SKB Tiga Menteri tentang Ahmadiyah. Dibuat untuk mengatur sikap JAI dan masyarakat umum agar bisa seiring sejalan. SKB itu ditandatangani oleh Jaksa Agung Hendarman Supandji, Mendagri Mardiyanto dan Menteri Agama Maftuh Basyuni. Ditandatangani pada Senin (09/06/2008) di Departemen Agama, Jl Lapangan Banteng, Jakarta Pusat.
Ada enam poin isi SKB, diantaranya memberi peringatan dan memerintahkan kepada seluruh pengurus JAI agar menghentikan semua kegiatan yang tidak sesuai dengan penafsiran agama Islam. Apabila melanggar, akan diberi sanksi tegas sesuai dengan hukum yang berlaku. Masyarakat juga diperingatkan untuk tidak melakukan tindakan melanggar hukum kepada anggota JAI.
Aliran Ahmadiyah telah difatwa sesat oleh MUI pada 2005. Tak hanya MUI, Rabithah Alam al Islami, Liga Muslim Dunia yang berpengaruh, pada 1974 menyatakan Ahmadiyah bukan Muslim. OKI pun mengeluarkan keputusan yang sama tentang Ahmadiyah.
Bagaimana tidak sesat, Ahmadiyah mengakui ada nabi setelah Nabi Muhammad Saw. Semestinya masuk dalam pasal penistaan agama. Namun pemerintah tak bisa berbuat banyak. Ancaman tindakan sanksi tegas untuk anggota JAI yang masih beraktivitas sebagaimana poin dalam SKB Tiga Menteri pun tak ada.
Anehnya, wacana kaji ulang SKB dan juga fatwa MUI pun semakin santer. Kedua peraturan tersebut dianggap pangkal tindakan masyarakat yang main hukum sendiri terhadap jamaah Ahmadiyah. Faktanya, ketidakmampuan negara dalam mencegah konflik sosial.
Sikap pemerintah tersandera oleh ide liberalisme atas nama toleransi dan meneguhkan keberagaman serta HAM. Hingga tak mampu membubarkan Ahmadiyah, meskipun jelas-jelas kesesatannya. Bahkan negara dituntut melindungi hak mereka sebagai warga negara, hak tetap berada pada keyakinannya. Meskipun keyakinannya itu salah ataupun sesat dalam pandangan Islam.
Inilah sistem liberalisme yang mengagungkan kebebasan, termasuk kebebasan beragama. Negar hadir untuk menjamin kebebasan tersebut dan mengatur agar kebebasan seseorang tidak mengeliminir kebebasan yang lain.