Kebaikan dan Kebenaran: Pemenang Perang Persepsi Publik
Jejaring komunikasi politik di Pilpres 2024 itu bakal hanya tinggal dan di melalui genggaman tangan saja.
Boleh jadi kalkulasinya sampai pada puncak tertingginya: satu pemilik HP berusia remaja-dewasa yang bisa menampung minimal lima aplikasi media sosial ekuivalen berbanding dengan muara akhirnya akan dihasilkannya satu suara pilihan, one hp to one vote getter.
Karena usianya pun sudah wajib mengikuti sebagai peserta Pemilu/Pilpres, sebagai hak suara dirinya menyatakan aspirasi-kedaulatannya.
Ini bisa dicacah dari datanya antara angka prosentasi tingkat kepesertaan Pemilu/Pilpres 2019 yang menurut KPU mencapai sebesar 81,97% dari populasi, itu berarti sebesar 221 juta. Sementara, data persentase pemilik hp/pengguna media sosial dari populasi di tahun 2022 menurut laporan We Are Social, sebesar 68,3 % atau sebesar 191, 4 juta. Dengan pengguna aplikasi WA paling banyak sebesar 88,7% lebih, kemudian disusul oleh Instagram 84,8 % dan Facebook 81, 3%, Selanjutnya, Tiktok 63,1% dan Telegram 62,8%.
Kemudian, jika angka kenaikan kepesertaan Pilpres/Pemilu diestimasikan sama dengan tahun 2014-2019 sebesar 5%. Sementara, angka kenaikan pengguna media sosial naik 12,35 di tahun 2021, paling tidak ketika tiba bersamaan di tahun 2024, angka keduanya nyaris akan matched: satu orang pemilik hp atau pengguna sosial itu akan sama dengan satu orang pemilik hak suara politik, sebagaimana sudah disebutkan diatas tadi.
Jelas, fakta data itu lebih naik membludak jauh dari angka pemilikan hp di Pemilu-Pilpres sebelumnya dan itu akan menjadi moda jejaring komunikasi politik baru, sudah tentu dengan segala dinamika dan implikasinya, salah satu yang paling seru dan krusial, adalah perang persepsi publik yang pasti akan menyertainya.
Sumbernya dari aplikasi-aplikasi media sosial itu yang akan menjadi media sarana pembentukan persepsi publik itu pada awal mulanya. Instagram, Facebook, Tiktok dan Youtube, adalah aplikasi medsos yang akan paling mudah diserap oleh publik dikarenakan jenis informasi dan komunikasinya visual. Sementara, WA dan Telegram, adalah media sarana lebih bersifat ke literasi dan narasi, tetapi keduanya memiliki kecepatan penyebaran dan penularannya secara digital, jauh lebih cepat cara sebaran dan tukarannya secara endemik ketimbang virus Covid-19 jenis apapun, jenis Omicron terbaru sekalipun.
Persoalannya secara substansial dalam hal pembentukan persepsi publik tersebut sejauh mana nilai informasi dan komunikasi yang diserapnya itu merujuk kepada nilai kebaikan dan kebenaran sesungguhnya secara hakiki, murni dan genieun? Atau sebaliknya hanya bernilai hoax semata?
Kedua pilihan itu dengan kombinasi dan varian dengan banyaknya frekuensi kemunculannya silih berganti di media sosial —dalam konteks paralel dengan dinamika diskursus-dialektika bernilai positif-negatif dan hitam putihnya, serta bernilai kejujuran dan kebohongannya, itulah yang bakal menimbulkan sangat dalam dan luas perang persepsi publik itu.
Contoh yang paling nyata dari pembentukan persepsi publik itu kemudian menjadi perang yang sangat dalam dan meluas hingga kini, adalah perihal pembucahan isu-isu Islamofobia.
Menjadi terasa semakin aneh saja, justru di Indonesia mayoritas berpopulasi muslim, bahkan berjuluk negara Islam terbesar di dunia, justru propaganda dan stigmatisasi Islamofobia malah bertumbuh subur. Propaganda dan stigmatisasi Islamofobia itu dirandom selalu di tiga matra biang penyebab konflik sosial: intoleran, radikal dan terorisme.