RESONANSI

Kebaikan dan Kebenaran: Pemenang Perang Persepsi Publik

Seolah, itu sebagai “modal isu” diakumulasi untuk membuat ketakutan dan akan dijadikan sumber berkonflik dengan masyarakat umum di luar muslim sebagai minoritas. Yang secara faktual buktinya sesungguhnya ancaman, intimidasi dan persekusi oleh kelompok dan atau organisasi itu tak pernah dirasakan dan dialami oleh kelompok minoritas itu. Mereka nyaman, aman dan damai-damai saja!

Itulah yang terus-menerus diproduksi oleh para buzzer dan influencer yang memang dibayar oleh “oknum” penyokong rezim penguasa Jokowi dan atau oligarki korporasi yang berkomplot untuk membuncahkannya.

Sehingga, terbentuk persepsinya di publik itu betapa sangat berbahayanya Islamofobia itu, lebih jauh lagi tuduhan itu membawa-bawa “ideologi Islam Khilafah” yang dipersepsikan “mengerikan”.

Padahal, dalam Al-Qur’an, Islam Khilafah itu banyak tersurat sebagai hal kebaikan dan kebenaran politik, tetapi seolah sudah jelas pertentangannya “termodifikasi” dan “terkodifikasi” dengan ideologi negara berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Dalam posisi ini, maka umat Islam selalu “dipojokkan”, dituduh dan difitnah bakal berpeluang makar mengganti konstitusi. Padahal, faktualisasinya terbukti final menurut sejarah sudah ada kompromistis antara para tokoh muslim dan nasionalis pendiri bangsa bulat menerima Pancasila dan UUD 1945, adalah landasan konstitusional negara dan bangsa. Itulah kebaikan dan kebenarannya!

Dan ketika diyakini dan diimani bahwa kebaikan dan kebenaran itu akan selalu keluar sebagai pemenangnya, seperti ditunjukkan oleh Allah SWT dengan analogi yang sama dengan Islamofobia itu, adalah dengan munculnya masalah kelangkaan dan mahalnya minyak goreng, justru dialami oleh Indonesia yang dikenal oleh dunia internasional dijuluki sebagai negara produsen nomor satu di dunia penghasil kelapa sawit sebagai bahan dasar minyak goreng itu.

Jelas ini sangat menohok dan menampar keras muka Jokowi, sekaligus minyak goreng itu “membalas” membuncah merobek selaput kotak pandora yang selama ini menutupi betapa kepemimpinan Jokowi itu gagal mengurus negara dan pemerintahannya. Ternyata, negara yang dipimpinnya itu tunduk dan kalah oleh oligarki konglomerasi yang dikomplotinya.

Lemah lunglai dan lalai sebagai pemimpin tak mampu mengendalikan, sehingga oligarki itu sudah merangsek dan meringsek, bahkan “nyaris” ke seluruh lembaga tinggi negara lainnya baik terkait politik maupun hukum—DPR, MPR dan MA, MK.

Bahkan, pelaku-pelakunya sudah menunjukkan “tak bersembunyi-sembunyi” lagi, sudah terang-terangan berada di Kabinet, sebagai “penguasa-pengusaha”. Itulah kenapa negeri ini jadi banjir korupsi dari luapan cuan APBN dan PDB, bahkan sampai ke sumber-sumber daya alam di dasar bumi yang terus-menerus dikeruk justru “terbiarkan” atas izin dan nama negara.

Maka, kesimpulannya oleh rezim Jokowi rakyat tak terurus, semakin menderita. Sementara negara terbiarkan menjadi bancakan fasilitas dan korupsi.

Contoh yang membuncah persepsi publik lainnya, adalah terhadap sosok seorang Anies Baswedan. Tak pernah berhenti hujatan, caci maki, bullying, bahkan fitnah, di sepanjang beliau menjabat Gubernur DKI Jakarta yang memang itu sesungguhnya kehendak rakyat Jakarta.

Gegara Anies kemudian memberhentikan proyek reklamasi pantai utara Teluk Jakarta, disinyalir ada kandungan “berbau amis” praktek oligarki korporasi menyokong cuan bagi pemenangan Jokowi 2014 meraih tampuk kursi Presiden, di mana Ahok Gubernur saat itu menjadi mediator, salahnya dia keceletot lidah dan ludah sendiri karena masgul dan sombong menistakan Islam, Anies kebagian getahnya karena adanya dukungan umat Islam yang dipimpin Imam Besar Habib Rizieq Syihab yang sesungguhnya sah-sah saja, malah sesuatu yang sahid membela Islam agamanya, Anies kemudian dibandrol —hingga saat ini, sebagai juragan pembawa politik identitas dengan entitas Islam yang kemudian disebut penyebar intoleran, radikal dan terorisme itu.

Laman sebelumnya 1 2 3Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button