MUAMALAH

Bahaya Riba

Tersebutlah sebuah negeri yang memiliki seorang menteri keuangan, yang menggelontorkan dana pinjaman sebesar Rp200 triliun ke bank-bank milik pemerintah, dengan tujuan untuk dijadikan sebagai modal pinjam meminjam nasabah terutama para pengusaha, untuk tujuan usaha bukan konsumsi.

Diharapkan dari pinjaman tersebut, para peminjam (debitur) akan dapat membuka usaha yang dapat menciptakan lapangan kerja  dan memberikan keuntungan bagi pihak pemberi pinjaman (kreditur) yaitu pihak bank.

Hanya saja keuntungan yang diperoleh oleh pihak pemberi pinjaman (kreditur) adalah keuntungan yang menyebabkan kerugian pada pihak peminjam. Sebab semakin besar pinjaman, maka bunga yang harus dibayarpun semakin besar. Dan pada satu titik tertentu pinjaman tersebut akan menyebabkan kerugian dan kebangkrutan bagi pihak pemimjam (debitur), di tengah keuntungan yang besar yang diperoleh oleh kreditur.

Sehingga pada saat perusahaan besar yang memperoleh dana dari pinjaman tersebut, pada satu titik tertentu dia akan mengalami kebangkrutan hingga tidak mampu mengembalikan pinjaman, dan berakhir dengan penyitaan seluruh aset perusahaan akibat perusahaan mengalami pailit dan diambil alih negara berupa utang dan asetnya setelah dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga setelah diajukan kepailitannya oleh OJK (Otoritas Jasa Keuangan).

Demikianlah praktik riba,  menguntungkan satu pihak (kreditur) dan merugikan pihak lain (debitur). Dan praktik riba hari ini melilit banyak pihak dari mulai rakyat jelata  hingga negara. Maka dalam skala kenegaraan, praktik pinjam meminjang ribawi ini, menjadikan utang luar negeri  negara yang sangat besar, sulit untuk ditutup dan dilunasi, sebab praktik ribawi menyebabkan pihak peminjam memiliki kewajiban berlipat ganda berupa kewajiban membayar pokok pinjaman dan bunganya, dimana semakin besar pinjaman, maka bunga pinjaman pun semakin besar.

Namun demikianlah sistem sekuler kapitalisme yang menyandarkan sistem perekonominannya berlandaskan pada praktik ribawi. Menjadikan rakyat terjebak hidup dalam tekanan tinggi akibat pungutan pajak yang mencekik guna membayar utang luar negeri negara berbasis ribawi, yang tidak pernah luas.

Karenanya wajar jika riba diharamkan dalam Islam, sebab bahaya yang diciptakannya begitu besar,  hingga dapat membangkrutkan sebuah negara besar yang memiliki SDA yang sangat banyak. Yang seringkali dijadikan sebagai agunan untuk mendapatkan utang luar negeri.

Padahal, berutang atau meminjam dalam pandangan Islam adalah boleh, asalkan tidak mengandung riba. Sebab pinjam meminjam dalam pandangan Islam adalah aktivitas tolong-menolong yang tidak boleh ada kompensasi apapun di dalamnya.

Aktivitas pinjam meminjam dalam pandangan Islam memiliki nilai yang baik, pemberi pinjaman akan mendapatkan pahala dari sisi Allah SWT sebab menolong pihak yang meminjam. Dan pihak peminjam pun benar-benar akan tertolong dengan pinjaman non ribawi yang diperolehnya, sebab ia hanya memiliki kewajiban untuk mengembalikan pinjamannya sesuai dengan besarnya pinjaman yang diperolehnya, tanpa bunga tanpa riba.  

Sehingga mengembangkan usaha dari modal pinjaman non ribawi adalah sesuatu yang pasti akan senantiasa  berkembang, sebab pihak peminjam hanya melunasi dan mengembalikan pokok pinjaman saja, tanpa ditambah embel-embel lainnya.

Demikianlah bagaimana Islam betul-betul akan mengarahkan pengelolaan harta, yang akan mengantarkan pada  kemaslahatan pemiliknya, antara lain dengan menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.

Allah SWT berfirman:

اَلَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ الرِّبٰوا لَا يَقُوْمُوْنَ اِلَّا كَمَا يَقُوْمُ الَّذِيْ يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطٰنُ مِنَ الْمَسِّۗ ذٰلِكَ بِاَنَّهُمْ قَالُوْٓا اِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبٰواۘ وَاَحَلَّ اللّٰهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبٰواۗ فَمَنْ جَاۤءَهٗ مَوْعِظَةٌ مِّنْ رَّبِّهٖ فَانْتَهٰى فَلَهٗ مَا سَلَفَۗ وَاَمْرُهٗٓ اِلَى اللّٰهِۗ وَمَنْ عَادَ فَاُولٰۤىِٕكَ اَصْحٰبُ النَّارِۚ هُمْ فِيْهَا خٰلِدُوْنَ ۝٢٧٥

“Orang-orang yang memakan (bertransaksi dengan) riba tidak dapat berdiri, kecuali seperti orang yang berdiri sempoyongan karena kesurupan setan. Demikian itu terjadi karena mereka berkata bahwa jual beli itu sama dengan riba. Padahal, Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Siapa pun yang telah sampai kepadanya peringatan dari Tuhannya (menyangkut riba), lalu dia berhenti sehingga apa yang telah diperolehnya dahulu menjadi miliknya dan urusannya (terserah) kepada Allah. Siapa yang mengulangi (transaksi riba), mereka itulah penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al-Baqarah: 275).

1 2Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button