MAHASISWA

Banjir dan Pembangunan Kapitalistik

Peristiwa hujan deras di Ibu Kota Jakarta sejak Selasa sore (31/1) hingga Rabu pagi (1/1) mengakibatkan hampir seluruh wilayah Ibu Kota lumpuh karena terendam banjir. Tercatat ada 63 titik banjir yang menyebar di kawasan Jakarta.

Diketahui, banjir bandang menerjang sejumlah daerah di Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, Selasa (31/1/2019) hingga Rabu (1/1/2020). Sebanyak 150 rumah rusak. Sebanyak 150 rumah di perumahan Cimahe Indah Kabupaten Bandung Barat (KBB), rusak diterjang banjir bandang. Banjir juga terjadi sejumlah wilayah di Kabupaten Karawang, Jawa Barat. Sedikitnya ada 11 desa di enam kecamatan yang terendam banjir. Ketiggian air bervariasi antara 30 hingga 150 sentimeter.

Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan menyatakan, berdasarkan laporan dari Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) hujan yang turun di momen pergantian tahun ini adalah yang paling ekstrem selama kurun waktu 24 tahun terakhir.

Tidak dapat dipungkiri penyebab banjir Jakarta bukan hanya faktor alam semata, tapi juga merupakan masalah sistemik buah dari kapitalistik seperti halnya pembangunan infrastruktur yang jor-joran, penggundulan hutan, penyempitan dan pendangkalan sungai. Yang belakangan ini semakin sencar dilakukan dengan adanya proyek-proyek dengan tujuan tertentu oleh kalangan elite.

“pembangunan properti yang jor-joran, tanpa mengindahkan tanah rawa, sawah dan cekungan danau. Semuanya dibabat dan diembat. tembok rumah baik berskala kecil maupun berskala besar selalu menjadi korban. Sehingga, saat hujan datang banjir pun tiba secara bersama. Seolah kita membenci selokan, membenci sungai, membenci rawa, membenci kebun, membenci sawah dan membenci hutan,” ungkap Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Dedi Mulyadi.

Seperti halnya Km 24 tol Jakarta-Cikampek yang terkena banjir dikarenakan drainase tersumbat oleh kegiatan proyek. dan beberapa penyerapan air pun kini sudah berubah menjadi gedung-gedung komersial. Ketika dibangun jalan tol kanan kiri pun langsung dirubah menjadi gedung-gedung komersial tanpa mengindahkan lingkungan. Dan hal lain yang menjadi pemicu adalah adanya kawasan kumuh kemiskinan massal dan tidak memperhatikan pembuangan sampah. Masyarakat miskin yang tinggal di pinggiran sungai dan tempat peyerapan airpun masih sangat banyak karna kuran adanya pelayanan hidup layak tehadap kalangan masyarakat miskin. Akibatnya akibatnya tempat-tempat yang seharusnya menjadi kawasan oenyerapan air berubah menjadi pemukiman masyarakat pula.

Sejatinya curah hujan memang sudah menjadi ketatapan dari sang pencipta. Yang perlu ditanggulangi adalah terkait pengendalin air yang sudah turun. Maka disitulah letak pembenahan yang harus diperhatikan. Akan tetapi penyelesaian tidak cukup hanya perbaikan teknis tapi harus menyentuh perubahan ideologis. Dengan menyadari bahwa sudah tidak ada lagi harapan positif jika kita masih mengikuti sistem kapitalistik yang hanya berkutat pada asas manfaat semata. kesenjangan akan senantiasa terjadi jika sesama manusia yang membuat aturan dan mengaturnya.

Berbeda halnya dengan sistem Islam yang membawa pemahaman bahwa misi keilahian manusia adalah membangun dan menjadi pemimpin dimuka bumi ini, mengembangkan peradaban dunia untuk kemaslahatan kemanusiaan.

Maka sudah selayaknya pula kita menyadari bahwa sangat perlu adanya pengaturan kekuasaan dimuka bumi ini sesuai dengan kadarnya.

Momentum banjir harus menjadi pengingat agar menjadi kesadar mengubah pola hidup dan membuang pandangan hidup kapitalisme serta mengadopsi Islam.

Arifah Azkia N.H
(Mahasiswi Ekonomi Syariah)

Artikel Terkait

Back to top button