OPINI

Berantas Hoaks dengan UU Terorisme, Tepatkah?

Wacana penyebaran hoaks bisa dijerat UU Terorisme menuai kontroversi. “Saya kira (hoaks) ini teror, meneror psikologi masyarakat. Oleh karena itu, ya kita hadapi sebagai ancaman teror. Segera kita atasi dengan cara-cara tegas, tapi bertumpu kepada hukum,” ujar Wiranto usai Rakor Kesiapan Pengamanan Pemilu 2019, di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta Pusat, Rabu (20/3).

Menurut ketua komis I DPR RI, Abdu Kharis Almasyhari, pernyataan Wiranto terlalu berlebihan. Menurutnya, penyebaran hoaks dengan terorisme harus dibedakan. Pakar hukum pidana Teuku Nashrullah mengatakan, wacana yang digagas Wiranto dinilai sebagai sikap panik dalam penegakan hukum. Pelaku penyebar berita bohong, menurut Teuku, harus dihukum sesuai dengan pidana penyebar berita bohong. Ia mengatakan penerapan UU Terorisme pada penyebar hoaks akan memunculkan konsekuensi pelanggaran hukum yang justru dilakukan oleh pemerintah atau penegak hukum, seperti dilansir Republika.co.id.

Gagasan Wiranto menimbulkan kegaduhan baru di tengah publik. Sebab, apa yang dikemukakan Wiranto justru terkesan sebagai bentuk ancaman bukan penegakan hukum. Yang namanya penegakan hukum harus dijalankan sesuai aturan yang berlaku. Pelaku hoaks sebenarnya sudah diatur dalam UU ITE.

Mengenai wacana ini, ada beberapa hal yang patut dikritisi diantaranya: Pertama, masalah definisi. Dalam pasal 1 ayat 2 UU5/2018 menjelaskan terorisme adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban bersifat massal, dan/atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan.

Pasal 1 ayat 3 dalam UU tersebut mendefinisikan kekerasan adalah setiap perbuatan penyalahgunaan kekuatan fisik dengan atau tanpa menggunakan sarana secara melawan hukum dan menimbulkan bahaya bagi badan, nyawa, dan kemerdekaan orang, termasuk menjadikan orang pingsan atau tidak berdaya. Kemudian, pasal 1 ayat 4 menyebutkan ancaman kekerasan adalah setiap perbuatan secara melawan hukum berupa ucapan, tulisan, gambar, simbol, atau gerakan tubuh, baik dengan maupun tanpa menggunakan sarana dalam bentuk elektronik atau nonelektronik yang dapat menimbulkan rasa takut terhadap orang atau masyarakat secara luas atau mengekang kebebasan hakiki seseorang atau masyarakat.

Wiranto mengatakan hoaks masuk dalam kategori teror psikologis pada masyarakat. Menurutnya hoaks yang menimbulkan teror dan menakuti masyarakat sama halnya dengan terorisme. Padahal, bila merujuk pada pasal 1 ayat 2, 3, dan 4 dalam UU No.5 Tahun 2018 pelaku teror tidak cukup sekedar menimbulkan teror saja. Akan tetapi harus ada unsur kekerasan dan motif pelaku sebagaimana yang disebutkan dalam UU tersebut.

Kedua, penegakan hukum. Hukum adalah instrumen keadilan terhadap setiap tidak kriminal. Jika pelaku hoaks begitu mudah dijerat dengan UU Terorisme, justru hal ini akan menimbulkan ketakutan pada masyarakat. Berpotensi represif dan otoriter. Saat ini, penerapan UU ITE saja sudah banyak disalahgunakan. Kritik kepada penguasa bisa dianggap sebagai ujaran kebencian. Korban pasal karet tersebut sudah banyak. Bagaimana jadinya bila UU Terorisme diberlakukan pada pelaku hoaks? Hal ini cukup mengkhawatirkan. Mengingat rekam jejak penguasa dalam penegakan hukum masih berat sebelah. Tajam ke lawan, tumpul pada kawan.

Ketiga, penyalahgunaan kekuasaaan. Di masa orde baru, siapapun yang mengkritik penguasa kala itu bisa dijerat dengan pasal subversif karena dianggap bisa merongrong kestabilan ekonomi negara. Setelah 20 tahun reformasi, akankah penerapan hukum kembali mundur? Kebebasan berpendapat bisa dibungkam dengan dua UU, ITE dan Terorisme.

Keempat, kepanikan tidak pada tempatnya. Menjerat hoaks harusnya dijerat sesuai hukum yang berkaitan dengannya. Bukan malah menggunakan UU lain. Tempatkan tindak pelanggaran sesuai hukum yang terkait dengan pelanggaran tersebut. Bukan melebar kemana-mana. Maka tak heran bila banyak pihak menganggap sikap Wiranto sebagai bentuk kepanikan yang tidak perlu. Wacana itu juga terkesan gegabah, grusah grusuh.

Jika pemerintah serius memberantas hoaks, tegakkanlah hukum seadil-adilnya. Berantas hoaks tanpa memandang kepentingan dan golongan. Tak boleh ada fitnah dan sikap represif terhadap lawan. Menerima kritik dengan lapang dada dan terbuka. Sebab, hukum bukanlah alat kekuasaan.

Mari berantas hoaks dengan benar. Apa yang benar katakan sebagai kebenaran. Hal yang salah akui sebagai kesalahan. Bukan sebaliknya. Begitulah yang diajarkan Islam.

Chusnatul Jannah
Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban

Artikel Terkait

Back to top button