Blunder Politik Tim Hukum Nasional
Pemerintah melalui Menkopulhukam akan membentuk Tim Hukum Nasional. Tim ini akan bertugas mengawasi dan meneliti omongan dan pemikiran para tokoh politik yang diduga melanggar hukum (www.news.visimuslim.org, 7 Mei 2019). Wiranto menjelaskan bahwa Tim Hukum Nasional ini beranggotakan para tokoh politik, pakar hukum tata negara, professor dan doktor dari berbagai universitas. Dengan kata lain bahwa keberadaan Tim Hukum Nasional adalah bentuk penilaian dari sebagian anggota masyarakat yang paham hukum terhadap masyarakat lainnya.
Lebih lanjut Wiranto menjelaskan beberapa alasan pembentukannya di antaranya bahwa Tim Hukum Nasional ini statusnya membantu meneliti dan mendefinisikan kegiatan yang nyata melanggar hukum. Bahkan menurutnya, adanya Tim tersebut akan membantu dalam menindak tegas akun medsos yang mengandung kebencian dan radikalisme (kompasTV/cerita Indonesia, 08 Mei 2019).
Pembentukan Tim Hukum Nasional besutan Menkopolhukam ini justru hanya akan melahirkan beberapa persoalan yang menjadi blunder bagi pemerintah sendiri. Di antaranya adalah berikut ini.
Pertama, Rencana pembentukan Tim Hukum Nasional berpotensi membelah masyarakat. Artinya akan timbul konflik horisontal di tengah masyarakat. Antar anggota masyarakat akan saling menaruh kecurigaan satu sama lain. Akan terjadi perdebatan di tengah masyarakat terkait ucapan seorang tokoh, apakah sudah melanggar hukum ataukah tidak.
Potensi konflik horisontal ini timbul dari sinyalemen bahwa Tim Hukum Nasional ini menggunakan mekanisme pandangan hukum dari masyarakat yang paham hukum terhadap masyarakat lainnya.
Kedua, Memberangus daya kritis masyarakat. Tentunya sebuah pemerintahan akan bisa berjalan dengan baik ketika daya kritis masyarakat tumbuh dengan baik pula. Ditambah lagi tumbuhnya daya kritis masyarakat diwadahi oleh UUD 1945, bahwa negara menjamin kemerdekaan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.
Direktur Eksekutif Amnesti Internasional Indonesia, Utsman Hamid menilai bahwa usulan Wiranto terkait Tim Hukum Nasional tidak pas dengan iklim Demokrasi. Menurutnya, bila benar – benar Tim besutan Wiranto ini dibentuk dan diarahkan untuk meredam suara – suara kritis yang sah dari masyarakat, tentunya akan banyak orang yang akan dikriminalkan dan berpeluang semakin meningkat jumlahnya dari tahun ke tahun (www.republika.co.id, 07 Mei 2019). Jadi menurutnya, tidak diperlukan pembentukan Tim Hukum Nasional ini.
Pernyataan senada, Andre Rosiade, Jubir BPN Prabowo Sandi menyatakan bahwa rencana pembentukan Tim Hukum Nasional tersebut hanya akan menakut – nakuti masyarakat dan menjadikan suasana kehidupan berbangsa dan bernegara seperti jaman Orde Baru (www.suara.com, 07 Mei 2019).
Ketiga, Pembentukan Tim Hukum Nasional kehilangan makna substansinya, bahkan lebih cenderung bernilai politis. Hal demikian terlihat dari momentum pembentukan Tim Hukum Nasional tersebut. Pasca pemilu 2019 inilah yang menjadi momentum.
Lantas apakah suara-suara kritis seputar pemilu 2019 dan penyelenggaraannya dinilai sebagai sebuah pelanggaran hukum? Padahal banyak kalangan yang memandang pemilu 2019 adalah pemilu terburuk sejak era reformasi.