OPINI

BUMN Tersungkur, Kapan Bisa Mujur?

Perusahaan BUMN mengalami pasang surut. Kerugian membengkak, keuntungan masih merangkak. Seperti yang dialami PLN, utangnya menggunung hingga Rp500 triliun. Sekalipun di Kuartal I 2021 meraup laba bersih sebesar Rp5,2 triliun, tetap saja masih besar pasak daripada tiang. Pemasukan minim, kerugian pun menjadi lampu kuning.

Senasib dengan PLN, Garuda Indonesia juga menanggung beban rugi yang besar. Total utang Garuda Indonesia di Kuartal IIIIII-2020 membengkak berkali lipat hingga mencapai Rp147, 5 triliun. Kerugiannya cukup mencengangkan, yakni sebesar Rp15,26 triliun. Satu kawan dengan PLN dan Garuda, perusahaan BUMN Karya mengalami kerugian tahun kemarin. Waskita Karya mencatatkan kerugian sebanyak Rp7,3 triliun, dan Wijaya Karya mengalami penurunan laba dari Rp819,4 miliar menjadi Rp128,7 miliar.

Utang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mencapai Rp1.682 triliun hingga September 2020. Tren kenaikan utang perseroan terjadi dalam beberapa tahun terakhir. Dari data Kementerian BUMN, utang perusahaan negara tercatat sebesar Rp942,9 triliun, kemudian naik pada 2018 menjadi Rp1.251,7 triliun. Sedangkan, sejak 2019, utang meningkat menjadi Rp1.393 triliun. (Okezone.com, 1/2/2021)

Ada apa dengan BUMN? Mengapa BUMN yang menjadi lumbung pengurusan urusan rakyat bergelimang utang dan kerugian? Bagaimana cara membenahi BUMN yang tersungkur?

Kemelut Utang BUMN

Mencermati fakta di atas, kemelut utang dan besarnya pasak BUMN bisa diuraikan dalam beberapa poin berikut:

Pertama, kesalahan orientasi dan paradigma. Ketika perusahaan negara merugi, solusi yang diambil biasanya melakukan pinjaman atau menerbitkan surat utang untuk memberi suntikan dana bagi perusahaan. Dengan pinjaman tersebut, diharapkan kondisi keuangan kembali sehat dan stabil.

Bukan hanya menutupi kerugian dengan surat utang, ada pula yang melakukan pembiayaan infrastruktur BUMN melalui skema investasi utang. Seperti yang dilakukan PLN dengan membangun proyek 35.000 MW yang akhirnya mengalami over supply. Memaksakan diri membangun infrastruktur padahal pendapatan belum mencukupi. Inilah akibat over ambition. Tanpa nelihat realitas dan kemampuan yang sebenarnya.

Seperti gali lubang, tutup lubang. Pinjam uang untuk bayar utang. Jika solusi utang terus dilakukan, bukan tidak mungkin negeri ini meninggalkan warisan utang BUMN yang selamanya tidak bisa dibayar oleh generasi mendatang. Kurang duit, utang. Mau bangun proyek, utang. Mau bayar utang, juga utang. Begitu terus tak ada habisnya.

Kedua, salah tunjuk orang. Sudah sering terjadi, BUMN menjadi pangsa pertaruhan politik. Kementerian ini paling sering menjadi sasaran bagi-bagi kursi. Mereka yang duduk di jabatan tinggi seperti komisaris, dipilih bukan karena kompetensi yang dimiliki, namun tidak lebih untuk balas budi atas dukungannya kepada rezim yang berkuasa. Lihat saja mereka-mereka yang duduk di kursi komisaris. Dari sosok kontroversi, kiai, hingga musisi menghiasi kursi penting di BUMN.

Ketiga, salah paradigma dan tata kelola. Terpuruknya BUMN sejatinya tidak terlepas dari paradigma kapitalisme yang menguasainya. BUMN yang mestinya memiliki posisi strategis untuk mengelola harta dan kekayaan milik rakyat, justru dijadikan ajang bancakan proyek bagi para korporat.

Tata kelolanya bukan lagi berorientasi pada pemenuhan hajat hidup masyarakat. Namun, lebih kepada profit oriented bermental bisnis. Yang dipikir bagaimana mendapat untung, meski harus buntung dengan utang menggunung. Yang dipikir bagaimana BUMN menjadi pasar menjanjikan, padahal faktanya terus berada dalam kerugian.

1 2Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button