Debu-debu Itu
Selain saya, mahasiswa tingkat II yang kost di rumah horor itu –karena memang sering kedatangan “tamu makhluk halus” dan segala macam keanehan di sana– adalah Ahmad Husein, Iryawan Widjaja, Adi Sasongko, Andi Rohman, Hartadi, Mashudi, dan Fahmi Riyadi Kubra. Sebagai “wakil ketua asrama”, Kang Bowo paling rajin mengingatkan kami-kami yang masih tingkat II ini agar rajin mengaji dan shalat di masjid, selain untuk belajar. Di rumah itu saya sekamar dengan Kang Sumunarjati, teman Kang Bowo sejak SMP dan SMA.
Saya masih ingat benar, saat tingkat II saya masih jadi kutu-buku. Saat itu saya masih merasa kuliah di kampus adalah segala-galanya. Kuliah dan belajar lebih penting dari yang lain. Saat itulah, Kang Bowo sering mengingatkan agar selain belajar di bangku kuliah, kita juga harus banyak belajar tentang kehidupan, tentang masyarakat, tentang agama, dan juga tentang dakwah. Yang menarik, dia tidak mengingatkan dengan cara berceramah, tapi dengan ngobrol dan bercanda.
Ketika kami stres gara-gara ujian dan quiz silih berganti hampir setiap minggu, sementara nilai pada jeblog, misalnya. Saat itu, dia memperkenalkan cara bersyukur dan bertawakal atas apa yang sudah kami upayakan dalam menghadapi ujian dengan belajar, berusaha dan berdoa.
“Alhamdulillah… ada yang bisa,” begitu yang dia contohkan, setiap kali ujian selesai berlangsung.
Kalimat yang sederhana itu ternyata bisa membuat saya terutama, tidak terlalu stress dalam menghadapi ujian.
Di tingkat II kegiatan kami rasanya banyak sekali. Selain kuliah dan praktikum, kami juga ikut berbagai kegiatan senat, jurusan, dan himpunan di kampus. Saat MPOK (Masa Perkenalan dan Orientasi Mahasiswa) terjadilah insiden seru yang selalu kami ingat. Saat itu angkatan kami C-25, memboikot pelaksanaan MPOK yang menurut kami tidak mendidik. Saya bahkan dianggap menjadi salah satu pencetus boikot itu, karena mengajak kawan-kawan keluar dari ruang RKF saat kakak kelas akan membriefing kami dengan gaya khas MPOK yang arogan dan intimidatif.
Sebenarnya saya masih agak takjub juga sampai sekarang, mengapa sampai berani berteriak –pakai Allahu Akbar– dan mengajak kawan-kawan keluar. Padahal, kakak-kakak senior ini badannya gede-gede dan sangar-sangar, sementara saya kurus kerempeng. Anehnya, kawan-kawan C-25 mengikuti ajakan saya, dan keluar semua dari RKF meninggalkan kakak-kakak kelas yang terbengong-bengong kaget karena tak menduga kami keluar semua. Coba bayangkan jika saat itu hanya saya dan beberapa orang kawan yang keluar. Mungkin kepala saya sudah bocel-bocel juga.
Ketika akhirnya kami diwajibkan untuk mengikuti malam MPOK oleh Pak Dekan, Prof. Dr. Ismudi Muchsin, saya termasuk mahasiswa baru yang diintimidasi beberapa orang senior gara-gara insiden di RK Faperikan itu. Di kelompok kami ada Hartadi yang jago silat dan melawan dengan jurus-jurus Setia Hati-nya. Malam itu ia terus diintimidasi dan dipaksa berenang ke tengah Situ Gede. Awalnya, saya yang kurus, berkacamata tebal, dan berkulit pucat sehingga sempat dikira keturunan Cina ini, juga dipaksa berenang ke tengah Situ Gede. Tapi saya dilindungi beberapa orang PAK –yang juga kerempeng– seperti Kang Ahmad Soim, Kang Masduki, Kang Bowo yang belum segempal belakangan ini, serta beberapa orang senior lainnya, sehingga saya urung digojlog di tengah danau.
Untuk kegiatan di luar kampus, saya sering diajak Kang Bowo untuk ngaji tafsir ke Mamak Istikhori di Pesantren Darut Tafsir, Cibanteng, lalu mengaji Kitab Hayatush-Shahabah dan Fikrul Islam ke Ustadz Hanan di Pesantren Darul Falah, yang biasanya dilanjutkan dengan main bola dan makan gorengan sepulangnya. Beberapa kali saya juga diajak ke Pesantren Abu Dzar Al Ghifari di Leuwiliang untuk mengaji ke Ustadz Abdul Hadi, lalu ke Majelis Taklim Al Ghazali di Kota Paris untuk mengaji ke Ustadz Musthafa bin Abdullah bin Nuh, dan juga ke Masjid At-Taqwa Pekojan untuk mendengar tausiyah Ustadz Abdurrahman Al Bagdadi.