SILATURAHIM

Debu-debu Itu

Januari 2020 lalu, ketika saya menanyakan kondisi Kang Bowo via WA setelah mendapat kabar bahwa dia harus dirawat karena ada masalah di jantung, dia malah mendoakan saya yang sedang kena asam urat.
“Assalamualaikum… piye kabare Kang?” tanya saya.
“Waalaikum salam, sedang urus BPJS untuk tindakan jantung. Mugo sampeyan sehat selalu. ‘Perjuangan masih panjang, jaga kesehatan,’ pesan dokter Agus di RS Hermina Depok…,” ujarnya.
“Aamiin…,” jawab saya.
Tapi rupanya tindakan jantung itu tidak jadi dilaksanakan, meski seorang sahabat yang lain sudah siap membantu semuanya.
“Grogi juga kita, Bro,” ujarnya saat itu.

Namun, Kang Bowo justru sangat perhatian kepada sahabatnya yang sedang sakit, termasuk saya. Ketika saya terjangkit covid-19, September hingga Oktober lalu, beberapa kali Kang Bowo mengontak saya via WA untuk menanyakan kondisi dan terus menyemangati saya.

Pada 26 November lalu, Kang Bowo memposting foto selfie saat mengawal Ketua Umum Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) yang baru terpilih, Ustadz Dr Adian Husaini di Grup WA Mantan LDK. Ia melengkapinya dengan caption, “Mohon doa restu safari ke Lampung, Sumsel, Bengkulu.”

Semua anggota grup mendoakan keberangkatan mereka, sementara saya mendoakan sambil mengguyoni dengan memposting kalimat, “Fii amaanillah… Eh, emang nggak ada pengawal Mas Husein yang bodinya agak sterek gitu?” Sebab, saat itu tiba-tiba terlintas dalam pikiran saya, Kang Bowo sedang ada masalah di jantung, sehingga sebaiknya Mas Husein juga dikawal oleh orang DDII yang lain.
Edwin menjawab, “Pengawalnya besar-besar tapi ghoib, Oom Hanibal…”
Sementara Kang Bowo menanggapi keusilan saya dengan kelakar pula, “Ana mengamankan dari gangguan dan godaan akhwats…”

Selama perjalanan mengawal Ustadz Adian, Kang Bowo masih terus menanggapi perbincangan seru di grup WA tentang berbagai masalah. Sampai akhirnya muncul pesan terakhir dari nomor telepon genggamnya itu

Saya mulai mengenal Kang Bowo sejak masih di Tingkat Persiapan Bersama, IPB, tahun 1988. Kebetulan dia masuk IPB lewat jalur PMDK setahun sebelum saya, dan kemudian masuk ke jurusan Sosial Ekonomi Perikanan. Saat itu dia sudah aktif di Badan Kerohanian Islam IPB dan menjadi asisten mata kuliah Agama Islam, sementara saya masih seorang mahasiswa baru yang culun, belum lancar baca Al-Qur’an, dan merasa mendapat pencerahan saat mengaji Sirah dan Hadits bersama dosen Agama Islam kami, Ustadz Prof. Dr. Didin Hafidhuddin di Masjid Al Ghifari, serta uraian para asisten mata kuliah Agama Islam termasuk Kang Bowo.

Saya semakin mengenal Kang Bowo ketika saya masuk jurusan Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan IPB, di Darmaga tahun 1989. Kebetulan saya diajak teman-teman untuk ikut in de kost di jalan Babakan Raya 3,5, di sebuah rumah besar di tepi kuburan. Ternyata di rumah itu Kang Bowo juga in de kost. Bahkan dialah yang kemudian seolah-olah menjadi “wakil ketua asrama”, mendampingi Almarhum Kang Farid Wajdi “sang ketua asrama”.

Laman sebelumnya 1 2 3 4 5 6Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button