Debu-debu Itu
Tak hanya serius kuliah, belajar, serta ikut kegiatan kampus dan ekstra kampus, di waktu senggang kami kadang mancing bareng di Situ Burung, atau genjrengan malam-malam sehabis belajar. Kebetulan di kost kami Hartadi membawa gitar. Selain Hartadi yang pinter nyanyi Ebiet G Ade sambil gitaran, jagoan gitar Bara 3,5 adalah Husein, Kang Jati dan Fahmi. Kalau Kang Jati piawai memainkan Recuerdos de la Alhambra dan sonata gitar klasik lainnya, Husen jago genjrengan musik country dan evergreen, Fahmi biasanya memainkan musik pentatonik ala Dayak yang khas. Saya biasanya ikut nyumbang suara saja, sementara Kang Bowo biasanya senyam-senyum mengawasi kami sambil sesekali menyahut kalau kami sedang menyanyi lagu klasik rock kesukaannya.
Suatu hari, seingat saya hari minggu siang, kami sedang genjrang-genjreng di ruang tamu. Rame dan riuh rendah. Bak seorang lead vocal, Kang Bowo pun bergaya dengan sebuah sapu, sambil menyanyi. Tiba-tiba terdengar suara salam yang merdu dari beberapa orang akhwat di depan pintu pagar rumah kost kami. Kami pun langsung buyar sambil cekikikan. Ternyata mbak-mbak yang akan berkoordinasi tentang suatu kegiatan kampus dengan Kang Bowo itu sudah agak lama berdiri di situ sambil mendengarkan kami nyanyi sambil genjrengan.
Sebagai penggerak kegiatan keislaman dan kemahasiswaan di Kampus IPB Darmaga, Kang Bowo beberapa kali mengajak saya menemaninya berkoordinasi dengan akhwat untuk persiapan berbagai kegiatan. “Kalau ketemu akhwat nggak boleh sendiri. Kalau sendirian namanya khalwat,” ujarnya suatu ketika. Saya manggut-manggut saja dan baru mendengar istilah khalwat itu dari Kang Bowo. Sementara, saya yang waktu itu masih benar-benar culun dan tidak pernah mau berurusan dengan akhwat, jadi tahu, o ini tempat kostnya Mbak Ini, yang ini tempat kostnya Mbak Itu. Karena aktifitasnya dalam berkoordinasi dengan akhwat itu, Kang Bowo pun sering diledek – dengan nada sedikit iri tampaknya, hehehe…– dengan panggilan “Syaikhul Akhwat”.
Tahun 1990, ketika naik ke tingkat III, saya dan Kang Bowo pindah kost ke Babakan Tengah 47. Kali ini dia yang menjadi ketua kost. Di situlah saya semakin mengenal Kang Bowo. Ternyata ulang tahunnya empat tahun sekali, 29 Februari, sehingga kami sering meledek mengapa Kang Bowo lucu, karena umurnya saat itu baru lima setengah tahun. Sementara, lulusan SMA N 1 Wonosobo ini rupanya mantan rocker di masa SMA-nya. Bon Jovi adalah salah satu grup favoritnya. Karena itu pula ia suka memakai nama alias John Bon Bowi atau malah Bon Bon Jovi.
Yang menarik, Kang Bowo gemar memakai lirik-lirik lagu rock klasik yang sangat dikuasainya, namun dimaknai dengan ajaran Islam. Di malam hari, di kamarnya yang berada di lantai dua dengan lantai kayu yang tengah dimakan rayap –terdengar ketika kami menempelkan telinga ke lantai kayu berlapis plastik– saya sering mendengar dia bersenandung lagu-lagu Bon Jovi, Deep Purple, Gun n’ Roses, Queen, God Bless dan sebangsanya, selain mengaji Al Quran, Sirah Nabawiah, kultum, juga bersama seluruh penghuni kost ngaji kitab Uquduluzain –Kitab Nidhomul Ijtima’i ala Pesantren– yang disampaikan Munawar.
Di tingkat III, saya mengikuti banyak kegiatan di kampus. Saat itu saya menjadi asisten mata kuliah Ikhtiologi, sementara di himpunan saya jadi ketua bidang minat di Himiteka. Namun, Kang Bowo masih saja mendorong saya untuk aktif di Badan Perwakilan Mahasiswa (BPM) Faperikan, sehingga kemudian terpilih menjadi Sekjen BPM Faperikan. Sementara, saat itu Kang Bowo bersama beberapa kakak angkatan yang lainnya, Kang Muhammad Sam’un, Kang Muarif, Kang Mimid dll, menginisiasi kegiatan keislaman di kampus Faperikan, dengan membentuk majelis taklim Al Marjan. Saya jadi sering ikut kajian Islam di majelis taklim itu.
Di saat kami sudah sibuk dengan berbagai kegiatan kampus dan ekstra kampus, Kang Bowo pun mengajak kami untuk menerbitkan majalah Islam untuk mahasiswa. “Bahasanya nggak usah serius-serius… yang ngepop saja… mirip Majalah Gadis, atau Hai,” kata Kang Bowo. Niatnya saat itu adalah mencairkan pemahaman-pemahaman Islam yang kami pelajari dari kitab-kitab kuning maupun putih, menjadi bacaan yang enteng tapi berbobot. Segmennya untuk kawan-kawan mahasiswa yang tak sempat mengaji. Tema-tema yang kami bahas misalnya soal Ospek, soal kehidupan kampus, soal stres kuliah, soal asmara mahasiswa tingkat akhir, dan sebagainya. Tema-tema serius itu ditulis dengan gaya yang koncak, renyah, dan centil. Kang Bowo-lah yang paling jago menulis dengan gaya ngepop seperti itu. Saat itu saya nemu semboyan untuk majalah kami: Moment: renyah gayanya, padat isinya.
Di majalah itu, Kang Bowo didapuk menjadi Pemimpin Redaksi. Kawan-kawan lainnya, Ahmad Husein, Mashudi, Zulfiandri, Khairullah, Gunawan Setyadi, Edwin Aldriyanto, Wartono, Muhammadun, Yayan Buduayana, dan beberapa orang lagi menjadi staf redaksi. Sementara saya kebagian menjadi ilustrator dan layouter. Biasanya setelah saya buat ilustrasi untuk cover serta dibantu Noer Abbas dan Wartono saat melayout ala gunting tempel, majalah itu dicetak dengan difotocopy, lalu dijual dengan harga Rp500. Mohon diingat, di tahun 1990 harga semangkuk indomie telor masih Rp250, sate ayam Rp700, ongkos angkot masih Rp100.