Desekulerisasi Politik; Urgensi Penerapan Nilai-nilai Ilahiyah Nubuwwah
Sementara, sang pemimpin akan diminta pertanggungjawabannya kelak atas kepemimpinannya. Hadits ini memang tidak mengarah secara spesifik terkait dengan kekuasaan politik. Tapi, bisa menjadi landasan hujjah (argumentasi), bahwa sang penguasa tak bisa menghindari dari masalah pertanggungjawaban, minimal, kelak di yaumul akhir. Hadits ini sejatinya menggambarkan betapa berat tugas sang pemimpin, terutama yang memiliki rakyat, karena tuntutannya tidak hanya satu atau dua individu. Tapi, jutaan publik yang merasa dirugikan hak-haknya bisa menuntut di hadapan sang Khaliq. Dan ancamannya jelas: tidak amanah, maka an-naar itulah tempat yang pas untuk sang pemimpin pendusta, pemimpin yang suka menzalimi rakyat, termasuk yang suka menyakiti nuraninya.
Dengan konsepsi ilahiyah tentang kekuasaan, maka bukan hanya berat dan mengerikan, tapi rasio akan bicara: untuk apa mengejar kekuasaan. Implikasinya, siapapun yang terpanggil untuk menjadi sang pemimpin (berkuasa) tak akan mau harus memasuki irama permainan yang penuh intrik dan mengabaikan moralitas. Juga, untuk apa harus mamaksakan diri dengan menghamburkan trilyunan rupiah hanya untuk sebuah posisi yang mengerikan masa akhirnya. Sekali lagi, konsepsi ilahiyah terkait kekuasaan – secara langsung atau tidak – akan menyadarkan siapapun sebagai kandidat untuk menghindari diri dari praktik politik sekuler yang super sadis itu.
Kesadaran itu juga terjadi pada diri masyarakat sebagai pemilih: untuk apa harus menerima sogokan, yang ancamannya mengerikan, seperti yang disampaikan dalam hadits Qudsi berikut ini:
عن عبدالله بن عمرو رضى الله عنهما قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : لعنت الله على الرشى والمرتشى . (رواه الخمسة إلا النسائى وصححه الترمذى) .
Dari Abdullah bin Umar ra, beliau berkata, “Rasulullah Saw sampaikan, Allah melaknat orang yang menyogok dan yang menerima sogokan. (Hadits diriwayatkan lima imam, kecuali Imam Nasa’i. Dan hadits ini juga dikukuhkan atau diperkuat oleh Imam Turmudzi).
Jika peringatan Allah yang cukup tegas dan menakutkan itu menjadi panduan politik praktis, maka bukan hanya para pemilih selamat dari laknatnya yang tentu bukan hanya di akherat nanti, tapi pangung politik akan terhindari dari biaya tinggi, Tak akan terjadi money politics. Implikasinya adalah, pemilih akan benar-benar mencari calon pemimpin yang bisa diharapkan mampu mengelola negeri ini dengan amanah.
Di sisi lain, para penyelenggara pemilu dengan sejumlah perangkatnya akan mendukung penuh sebuah sistem yang mendasarkan kejujuran dan transparansi, sekaligus sangat anti kecurangan. Basis nilai-nilai kemulian ini berpengaruh pada kinerja aparat keamanan dan lembaga hukum, karena seluruh mekanisme penyelenggaran pesta demokrasi dilandasi kredibelitas dan profesionalitas. Satu hal yang pasti, output politik ini akan menghasilkan potret pemimpin yang sesuai dengan standar kepentingan publik, tanpa tercemari oleh noda seperti tragedi kemanusiaan akibat benturan fisik antara rakyat yang tak percaya dengan elemen keamanan yang harus mem-back up kepentingan kekuasaan.
Output politik yang luar biasa itu menjadi modal untuk menjalankan kekuasaan. Sikap keamanahan – sebagaimana yang diperintahkan Allah – juga diteladankan Rasulullah sebagai model kepemimpinan “kenegaraan”, atau lembaga-lembaga nonpemerintahan. Sebagai kepala “negara” dan “spiritual”, kepemimpinannya selalu didasarkan prinsip kejujuran (shiddieq), bukan sebaliknya: membungkus kebohongan yang terus menerus, di samping committed pegang kepercayaan rakyat (amanah) dan kecerdasan (fathanah) yang memang diperlukan dalam mengelola “negara”.
Beliau juga menunjukkan sosok pemimpin yang adil, meski saat itu – dalam periode Madinah – masyarakatnya sudah heterogen: ada kaum Nasrani, Yahudi, Muslim Muhajirin-Anshar dari berbagai suku. Meski demikian beragam corak masyarakat atau rakyatnya dari sisi keyakinan, suku, dan kelas sosial, Rasulullah yang didaulat sebagai pemimpin committed untuk menjaga persatuan, untuk kepentingan keamanan “dalam negeri” jika terjadi ancaman “asing”. Dan sejarah bicara, ancaman “asing” (suku Quraisy), bahkan dari kekuatan Romawi dan Persia yang sering berdatangan ke Madinah dapat ditangkal karena soliditas pertahanan dalam negeri. Ketika terjadi pengkhianatan dalam negeri dari Yahudi Qoinuqa, Quraizah dan Khaibar, maka – atas nama perjanjian yang tertuang dalam Piagam Madinah – Rasulullah harus menunjukkan sikap tegasnya. Itulah ketegasan yang terpaksa ketiga “bani” Yahudi harus keluar dari negeri Madinah.
Dalam perspekatif Islam, keadilan tak bisa ditawar-tawar. Harus ditegakkan. Dan penguasa harus committed dengan prinsip penegakan keadilan yang tidak boleh tebang pilih. Konsistensi penegakan hukum menjadi kata kunci penting untuk menjaga kekuasaan yang kredibel dan berwibawa. Konteksnya, bukan mencari citra positif, tapi rakyat butuh potret keadilan itu, dalam kaitan hukum itu sendiri, juga wilayah ekonomi dan politik. Ketika keadilan dalam berbagai spektrum ini diwujudkan, maka ketaatan rakyat terhadap ulil amri bukanlah semu.