OPINI

Desekulerisasi Politik; Urgensi Penerapan Nilai-nilai Ilahiyah Nubuwwah

Memang, sistem pemilihan langsung sudah menjadi amanat konstitusi dan hal ini menjadi tidak relevan dengan Sila keempat. Tapi, tak berarti perhelatannya harus menghalalkana segala cara sekaligus mengabaikan prinsip-prinsip moral. Watak sekulerisme tetap tak sejalan dengan watak religius yang mengedepankan prinsip kemanusiaan dan tata-krama pergaulan sesama anak-bangsa dalam dimensi keharmonisan dan kedamaian.

Sementara, ketika perhalatan pemilihan presiden-wakil presiden dipaksakan harus menang, hal ini – pada akhirnya – akan menjadi problem mendasar bagi cita-cita keadilan sosial sebagaimana yang digariskan Sila kelima. Landasannya, pemaksaan itu tak lepas dari rekayasa mavia yang kompensasional. Atas nama dan atau demi target kekuasaan, seluruh lawan politiknya dibabat. Implikasinya, saat perhelatan politik usai dan dirinya menjadi pemenang, maka siapapun yang berandil dalam kemenangannya tak akan diam. Tuntutan kompensasional itu – secara faktual – akan mengurangi kepeduliannya dalam menjalankan amanat Sila kelima Pancasila itu. Kepentingan para bohir is the first. Diprioritaskan. Rakyat? “Kumaha engke. Emang gue pikirin”, kata orang gaul masa kini.

Karenanya, kita bisa memahami, mengapa negeri kita tetap tertongkrongi angka kemiskinan yang tetap tinggi. Angka kemiskinan nasional di atas 27 juta orang adalah panorama sosial yang memperihatinkan, tidak manusiawi dan paradoks dengan kekayaan sumber daya alam yang dimiliki negeri ini. Sementara, dalam masa yang relatif bersamaan, terjadi “pesta” kebijakan yang terus memfasilitasi gerakan investasi asing yang tidak berimbas positif bagi penurunan jumlah kemiskinan terbuka. UU Omnibus Law – tak bisa dipungkiri – berandil besar terhadap proses peningkatan angka kemiskinan nasional.

Sekali lagi, praktik kekuasaan sekuler sejatinya mencederai Pancasila. Karena itu, Pancasila sebagai landasan moral hukum tertinggi harusnya dijadikan pijakan ulang bagi setiap rumusan kebijakan. Juga, menjadi “jiwa” utama bagi pemimpin ketika harus menandatangani kebijakan. Nama Allah harusnya “bersemayam” di setiap diri pemimpin, sehingga tak akan rela mengeluarkan keputusan kebijakan yang akan mengakibatkan kesengsaraan rakyat, atau merusak sumber daya alam secara serius.

Gambaran implementatif nilai-nilai agama, atau – dengan kata lain desekulerisasi – menunjukkan betapa bermaknanya agama sebagai sistem penguat kekuasaan. Dan sistem kekuasaan yang agamis (teokratik) sejatinya sangat diperlukan untuk sebuah negara yang kini ada dalam potret krisis multidimensional. Yang menjadi masalah, tak semua elemen masyarakat meyakini bahwa agama (Allah) menjadi sumber kekuatan untuk membenahi segunung krisis, sekaligus sebagai modal utama untuk memajukan bangsa-negara.

Untuk menghadapi keraguan publik terhadap peran konstruktif agama (Allah), maka – menggandeng pemikiran Aristotles tentang demos-cratos (demokrasi) – rakyat diberi peran sebagai kekuatan kontrol atas sistem kekuasaan yang ada, di samping aturan agama. Dengan demikian, kekuasaan diletakkan di bawah keberadaan Allah dan rakyat. Allah dan rakyat harus dibaca sebagai “satu” tarikan nafas. Karena itu teori teodemokrasi harusnya dikembangkan sebagai sistem integral kekuasaan. Arahnya jelas: di satu sisi, menciptakan sistem pertanggungjawaban terhadap Allah dan – di sisi lain – terhadap rakyat. Atau dibalik: rakyat-Allah secara bersamaan. Kesadaran ini dimaksudkan agar setiap orang tidak melalaikan tugas-tugas kekuasaannya. Kekuasaan adalah amanah yang harus diemban dan dipertanggungjawabkan.

Konstitusi Pasca Amandemen: Panggilan Partai Politik Islam dan Partai Berbasis Massa Muslim

Seperti kita ketahui, UUD 1945 pasca amandemen sampai empat kali terjadi perubahan yang sangat substantif. Banyak kalangan menilai, konstitusi kita sudah berubah total. Yang menjadi masalah, perubahan sejumlah pasalnya sarat dengan ruh liberalisme. Sebagai ilustrasi faktual, Pasal 7A dan 7B UUD 1945, kedua pasal ini – atas nama memperkuat sistem presidential – tampak seperti tidak berikan ruang kontrol publik secara msksimal. Ketika Presiden dinilai tidak confirmed dan banyak melukai hati rakyat karena gagal menjalankan amanahnya, rakyat seperti tidak memiliki kewenangan lagi untuk mengontrol secara efektif.

Kedua pasal tersebut – ketika rakyat sudah demikian jengah atas perilaku kekuasaan – hanya bisa menyerahkan kewenangannya kepada DPR dan DPD yang selanjutnya diteruskan ke MPR untuk memproses pertanggungjawaban Presiden. Sementara, mekanisme dan prosedurnya sangat berbelit. Di samping prosentase yang harus dipenuhi dan proses politik internal parlemen yang harus dilalui, juga proses politiknya harus ditindaklanjuti ke Mahkamah Konstitusi (MK). Hasil MK pun diserahkan lagi ke parlemen untuk menentukan nasib sang Presiden.

Satu hal yang perlu kita catat adalah kedua pasal tersebut membuat hak kontrol rakyat sangat lemah, bahkan terancam jika tetap meningkatkan hak kontrolnya. Dan hal ini sudah menimpa banyak elemen masyarakat, mulai dari kalangan elite, sampai kaum alit. Sebagian pihak yang menggunakan hak kontrolnya dituding makar atau hate terhadap Pemerintah. Sementara, sebagai konsekuensi negara yang bersistem demokrasi, rakyat berhak menyampaikan sikap politiknya.

Laman sebelumnya 1 2 3 4 5 6Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button