OPINI

Desekulerisasi Politik; Urgensi Penerapan Nilai-nilai Ilahiyah Nubuwwah

Desekulerisasi Politik: Perspektif Pancasila

Bicara desekulerisasi politik sama artinya bicara politik yang tidak lagi alergi atau memisahkan keberadaan agama. Maka, ketika kita bicara desekulerisasi politik dalam perspektif Pancasila, dengan sendirinya kita perlu melihat kembali posisi agama dalam Pancasila. Dalam hal ini Islam – sebagai salah satu agama resmi negara – banyak memberikan inspirasi contain (sila-sila) Pancasila, meski hanya sebagiannya. Islam sebagai agama yang sangat paripurna atau komprehensif, sebagian syariahnya masuk dalam rumusan Pancasila untuk kepentingan hidup berbangsa dan bernegara.

Sebagai gambaran faktual, Sila pertama, terinspirasi dari surat al-Ikhlas ayat pertama. Sila kedua, termaktub dalam kitab suci Al-Qur’an, surat an-Nisa: 135. Sila ketiga, terangkum dalam Al-Qur’an, surat al-Hujurat: 13. Sila kempat termaktub dalam Al-Qur’an, surat As-Syuro: 38. Sedangkan Sila kelima, terilhami Al-Qur’an, Surat An-Nahl: 90. Faktualitas ini menjadikan kita tak perlu mempertentangkan Pancasila dengan agama, karena posisi Pancasila – sebagian diktumnya – dari Islam.

Karena itu sungguh tendensius jika muncul aksi atau manuver pembenturan umat beragama (muslim) dengan Pancasila, apalagi ketaatannya disteoritipasi sebagai manusia ekstrimis, bahkan teroris, lalu dituding sebagai anti Pancasila. Bahkan, pernah juga terlontar agama sebagai biang kerusakan Pancasila. Sungguh logika terbalik. Sebagai muatan dominan Pancasila, agama dilihat sebagai faktor destruktif. Karena itu kita perlu menggaris-bawahi, steroritifasi ini bukan hanya tak mengenali posisi agama dalam Pancasila, tapi juga mengerdilkan agama yang demikian luas dan komprehensif. Dengan argumentasi apapun, dengan fakta dan data apapun, dan dengan pembenaran apapun, agama tak pernah memiliki persoalan dengan Pancasila karena memang sebagian nilai-nilai Pancasila dari agama. Jadi, sungguh bahaya jika agama disalahkan. Sungguh tak berdasar jika agama dijadikan kambing hitam dan sumber kesalahan bernegara. Justru agamalah yang menjadi benteng untuk melestarikan Pancasila.

Yang perlu kita sadari, Pancasila tanpa nilai-nilai agama akan redup, hampa dan tak memiliki jiwa dan roh. Hanya akan menjadi ideologi mati. Dengan agamalah, Pancasila menjadi ideologi penggerak kebenaran, pendobrak kemungkaran, pemersatu, dan pencerah. Karena agamalah, Pancasila menjadi hidup, memiliki nyawa, dan menjadi ideologi universal. Karena itu pula, ketika Pancasila disekulerisasi menjadikan ideologi negara ini menjadi kehilangan arah, atau terjadi banyak deviasi. Banyak paradoksalitas dalam tatanan bermasyarakat dan bernegara, termasuk dalam panggung politik praktis ketika Pancasila direduksi dan dicabut dari akar keagamaan.

Mencermati “jatidiri” Pancasila tersebut, kita tak ragukan lagi bahwa apa yang dirumuskan para pendiri negara jelang kemerdekaan ini sejatinya sejalan dengan aroma politik religius, bukan politik sekuler, meski Indonesia bukan negara agama. Di mata para perumus dari tokoh-tokoh Muslim ataupun umat lainnya menyadari bahwa nilai-nilai agama yang absolut-iniversal-abadi perlu dibumikan untuk kepentingan praksis yang bersifat partikular dan sementara. Arahnya, nilai-nilai transendental itu diharapkan menjadi pedoman bahkan penguat kehidupan praksis di dunia ini.

Seperti kita ketahui, publik yang demikian heterogen dari sisi etnis, suku dan keyakinan itu berkorelasi pada aneka cara pandang bahkan kepentingan yang berbeda. Karena itu, nilai-nilai universiltas yang digariskan agama sebagai syariah atau – menurut Hindu sebagai dharma – bisa menjadi alat pemandu untuk misi harmonisasi atau bangunan kesepahaman dan akhirnya menjadi potensi besar untuk perstuan bangsa. Dalam hal ini pertentangan atau dualisme yang ada bisa disatukan. Mono-dualisme antara nilai-nilai spiritual dan tuntutan material bisa diperpadukan.

Dengan demikian, nilai-nilai agama sungguh krusial untuk diwarnakan pada sendi kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk dalam hal politik praktis. Karena itu desekulersasi – terutama dalam panggung politik praktis – menjadi kata kunci (kerangka solusi) penting akibat demikian besar dampak dari sekulerisasi politik itu. Ketika ”menterjemahkan” Sila pertama dalam kaitan politik praktis, termasuk mekanisme menuju kekuasaan, sila ini yang jelas-jelas beruhkan agama, maka kita dapat mengarsir ketentuan Allah tentang kekuasaan, yang jelas-jelas diartikan sebagai amanah untuk melayani sebagaimana yang dilansir Al-Qur’an dalam Surah al-Baqarah: 30.

Melalui Surat al-Baqarah: 30 itu, secara eksplisit, Allah memberitahukan bahwa tujuan menciptakan manusia untuk menjalankan peran kekhalifahan (wakil-Nya) di muka bumi ini. Mandat ini disampaikan dalam misi besar, yakni memelihara kepentingan alam semesta dan seluruh isinya, yang di dalamnya terdapat umat manusia, di samping makhluk lainnya. Dengan kekhalifahan yang ada, seluruh “pihak” terjaga keberadaan dan keselamatannya sesuai haknya masing-masing. Satu sama lain tidak boleh saling mengganggu, apalagi merusak. Eksploitasi terhadap alam yang selama ini kerap terjadi oleh umat manusia harus segera diakhiri. Arahnya, agar tetap terpelihara ekosistemnya dan semua itu pada akhirnya berujung manis bagi kepentingan umat manusia itu sendiri, di samping makhluk lainnya.

Sementara, Sila lainnya – katakanlah Sila ketiga – juga jelas misinya. Sila ketiga ini tak sejalan dengan mekanisme politik kontestasi kepemimpinan yang mendorong perpecahan, apalagi sampai penindakan represif. Ketika sistem pemilihannya secara langsung sebagai konsekuensi menjalankan amanat UU, tapi Pancasila tetap tidak memberikan “lisensi” untuk bangunan konflik vertikal-horisontal, apalagi sampai meregang nyawa. Karena itu konsep desekulerisasi politik dalam perspektif Pancasila sebenarnya untuk memperbaiki kekacauan sistem politik yang sudah tercemari oleh ruh sekulerisme itu. Inilah kesadaran yang harusnya dihembuskan kembali bahwa Pancasila perlu diinternalisasikan ke dalam konstruksi sistem politik menuju kekuasaan.

Laman sebelumnya 1 2 3 4 5 6Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button