OPINI

Desekulerisasi Politik; Urgensi Penerapan Nilai-nilai Ilahiyah Nubuwwah

Yang perlu kita renungkan lebih jauh, apakah partai-partai Islam atau partai yang mayoritas berbasis massa muslim juga larut dalam irama partai sekuler lainnya? Tidak jauh beda. Sebagian terapkan mahar politik. Setidaknya, saat masuk koalisi akan tetap menuntut kompensasi politik, dalam bentuk jatah di kabinet atau “pos” strategis lainnya. Kata kuncinya, koalisi tak lepas dari anasir kompensasi jika gerbongnya berhasil memenangkan kandidatnya. Jika kalah, ya wassalam: terpaksa menjadi oposan. Itupun tergantung dari daya tahannya sebagai oposan. Jika tak istiqamah karena tak biasa sebagai oposan, ia akan terus mencari celah untuk berkoalisi dengan rezim pemenang, meski datang kemudian. Inilah tantangan partai-partai politik Islam karena tak mampu membedakan diri dengan tabiat partai sekuler. Sama-sama memandang politik itu sebagai kepentingan sempit. Bukan lagi sebagai lahan ibadah untuk misi besar membumikan nilai-nilai mulia politik (high politics).

Tak dapat disangkal, kini sulit membedakan antara partai sekuler dan partai yang notabene partai politik Islam. Semuanya tenggelam pada politik pragmatis. Yang perlu kita renungkan, manakala terdapat kandidat mumpuni, berakhlak mulia dan teruji integritasnya tapi ia tak “beruang”, maka pragmatisme seluruh partai politik akan sulit mengakomodasinya. Akhirnya, sepahit apapun, atau tak disukai oleh siapa pun, sistem kontestasi menuju kekuasasan akan mempermulus kaum oligarkis, yang keterpanggilan utamanya tak jauh dari nuansa bisnis. Kekuasaan hanya untuk membesarkan kerajaan bisnisnya, bukan untuk melayani hajat rakyat. Atau, kandidat yang bakal hadir adalah kandidat yang siap bermitra dengan kalangan bohir yang pasti kompensasional.

Kita perlu mencatat, baik dari unsur oligarkis ataupun kemitraan dengan sang bohir, mekanisme politik menuju kekuasaan seperti itu berdampak serius bagi tatanan ketatanegaraan ke depan dan tentu nasib rakyatnya. Sang kandidat sepotensial apapun, bahkan berdedikasi, mumpuni dan tak diragukan lagi integritasnya, ia harus tunduk untuk menjalankan politik balas budi, meski dalam ragam berbeda. Keterlibatan para bohir cenderung menuntut kompensasi fasilitas kebijakan yang diistimewakan, bahkan – secara langsung – untuk mendapatkan sejumlah megaproyek. Jika sang bohir tersangkut hukum, maka pembebasan dirinya dari jeratan hukum menjadi bagian kompensasi yang pasti diminta. Inilah jeratan politik sebagai konsekuensi politik biaya tinggi dan aturan presidential threshold (PT).

Bisa jadi, kandidat terpilih masih bisa bernafas lega jika jenis megaproyeknya lebih mengarah pada proses percepatan program pembangunan. Yang menjadi masalah justru ketika megaproyeknya mengarah proses kehancuran sumber daya alam dan terkait dengan anasir kedaulatan negara. Maka, nasionalisme sang kandidat ini diperhadapkan dilema serius. Atas nama nasionalisme, sang kandidat tak mau ditekan oleh pihak sponsor. Namun, kekuasaan sang kandidat tak akan sunyi dari penggoyangan. Para bohir – seperti yang kita ketahui selama ini – terkenal licik, tak mau kompromi dan mau menang sendiri. Maka, mereka akan terus melakukan manuver manakala kepentingan sempitnya diabaikan, tanpa introspeksi atau menilai kepentingan para pihak lain. Inilah egoisme kaum bohir yang terus mengganggu kepentingan kedaulatan negeri ini.

Ketika sang kandidat terlepas dari “jeratan” awal dan ia melenggang menjadi kandidat resmi, ia harus menghadapi realitas budaya baru: pragmatisme politik masyarakat. Bukan rahasia lagi, politik “wani piro” atau politik “NPWP” (nomer piro wani piro) sudah merasuk ke seluruh elemen masyarakat sejak sistem pemilihannya secara langsung. Memang, dalam kontestasi kepresidenan tak separah dengan pemilihan kepala daerah atau calon anggota legislatif yang penuh panen uang per lima tahunan. Tapi, tak bisa dipungkiri ketika kandidat presiden – minimal tim khususnya di berbagai lini – tak peduli dengan kebutuhan pragmatis masyarakat, maka potensi suaranya akan lepas.

Mencermati kecenderungan kuat pragmatisme masyarakat, maka politik uang (money politics) menjadi pemandangan biasa. Meski dilarang UU Pemilu dan berat sanksi hukumnya, namun praktik politik uang menjadi perilaku politik yang kian mengkristal. Bukan tak mungkin, budaya baru politik uang ini akan menjadi bagian integral yang tak boleh diabaikan pada setiap kandidat, baik bagi calon presiden dan pasangannya, calon kepala daerah dan para calon anggota legislatif. Publik tidak menyadari, uang recehan tersebut sejatinya jeratan yang akan memasung kepentingan rakyat itu sendiri. Makanya, jangan salahkan kandidat ketika ternyata pilihannya tak penuhi janji politiknya setelah berhasil manggung. Atau, masa bodoh dengan kinerja, meski sangat mencederai nurani rakyat.

Itulah sejumlah panorama politik sekuler yang sejatinya menyedihkan. Sebab, sampai kapanpun, rakyat sulit merasakan makna besar politik yang sejatinya ideal. Sebuah renungan, adakah celah untuk merestorasi output politik praktis itu? Tentu ada, jika sebagian besar elemen, termasuk masyarakatnya menyadari potret hitam politik sekuler itu.

Urgensi Menghadirkan Politik Ilahiyah-Nubuwwah

Untuk membenahi potret hitam politik sekuler yang kian tersekulerisasi dan sudah jelas memberikan madlarat bagi kepentingan umat manusia bahkan alam dan seisinya, maka tesis yang harus dibangun adalah desekulerisasi politik. Dalam hal ini dengan sendirinya mengembalikan cara pandang dan sikap theisme yang tauhid (ilahiyah).

Secara konsepsional, Allah – melalui Q.S. Ali Imran ayat 26 – menegaskan pemilik sejati kekuasaan itu Allah. Dialah yang memberikan kekuasaan kepada seseorang atau mencabutnya (kekuasaan). Pemberian atau mencabut kekuasaan seseorang didasarkan pertimbangan tentang keamanahannya. Ketika kekuasaan itu terkait dengan kepentingan publik, maka tugas sang pemimpin (yang punya kekuasaan) adalah melayani, bukan sebaliknya: minta dan harus dilayani, apalagi menuntut fasilitas sebagai wujud pengabdiannya.

Laman sebelumnya 1 2 3 4 5 6Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button