Desekulerisasi Politik; Urgensi Penerapan Nilai-nilai Ilahiyah Nubuwwah
Di sisi lain, perubahan Pasal 3 UUD 1945 yang mengamputasi kewenangan MPR menjadikan lembaga yang kini tercatat sebagai lembaga negara (bukan lembaga tertinggi negara) membuat posisinya tidak lagi sebagai pemegang kedaulatan rakyat, sehingga terbatasi kewenangannya untuk mewakili rakyat yang menuntut pertanggungjawaban Presiden. Karena perubahan itu pula, MPR tak punya kewenangan meminta sidang tahunan (ST) sebagai mekanisme kontrol kinerja Presiden, padahal – menurut konstitusi – MPR ada hak atau kewenangan untuk bersidang lebih dari sekali. Tidak menggunakan hak itu, menjadikan Presiden terbiarkan ketika negara semakin larut kegagalannya. Saat kegagalannya kian memuncak, MPR pun sulit untuk menyelenggarakan Sidang Istimewa (SI).
Hal itu karena konstitusi pasca perubahan tidak mewajibkan Presiden untuk menyampaikan pertanggungjawabannya kepada MPR. Sejalan Presiden dipilih langsung oleh rakyat, maka pertanggungjawabannya pun juga kepada rakyat. Logis. Tapi, menjadi tidak logis ketika dikaitkan dengan mekanisme “mengadili” sang Presiden.
Sebuah renungan mendasar, bagaimana partai-partai Islam dan atau partai yang berbasis massa mayoritas muslim menyikapi problem konstitusi yang – secara langsung atau tidak – melihat fakta keamburadulan tata-kelola kenegaraan itu? Sejauh ini tidak terdengar sama sekali kumpulan partai Islam menunjukkan reaksi korektif atas sejumlah titik lemah konstitusi pasca amandemen. Dalam hal pasal 7A dan 7B UUD 1945 yang sangat protektif bagi kepentingan kekuasaan Presiden, harusnya kumpulan partai Islam atau partai yang berbasis massa Muslim terpanggil untuk mengajukan judicial review (JR) kepada MK. Spiritnya adalah mencegah kondisi negara jauh lebih hancur dan rakyat kian jatuh dari berbagai sendi kehidupannya.
Jika partai Islam seperti PKS hanya berjumlah 50 kursi, PPP 19 kursi, PKB dan PAN – partai berbasis massa dominan Muslim – masing sebanyak 58 kursi dan 44 kursi, maka sebanyak 171 kursi ini sulit diharapkan untuk menjalankan fungsi kontrol maksimalnya ketika harus menyikapi kinerja buruk Presiden. Semakin sulit dan tak punya harapan manakala bicara partai koalisi, yang jelas-jelas PPP dan PKB berada dalam gerbong rezim saat ini. Sementara, PAN sudah semakin terlihat gelagatnya merapat ke Pemerintah. Praktis, hanya PKS yang bisa diharapkan untuk menunjukkan sikap kontrol maksimalnya. Persoalannya, satu partai (PKS) sulit untuk menggalang kekuatan di tengah parlemen untuk menyuarakan kontra Presiden dalam kerangka menuntut pertanggungjawaban. Karena itu, mekanisme yang paling memungkinkan adalah JR (judicial review) terhadap MK atas kedua pasal yang telah membiarkan perilaku kekuasaan kian tak terkendali dan atau tak terkontrol.
Sekali lagi, sampai detik ini tak ada suara kritis yang mengarah ke JR atas kedua pasal itu. Lalu, adakah partai baru yang menyandang partai Islam siap jalankan misi besar untuk selamatkan sistem ketatanegaraan, di antaranya koreksi Pasal 7A dan 7B? Tak bisa diharapkan. Bagi partai-partai baru, target utamanya adalah lulus parlementary threshold yang kini dipatok 4% atau 23 kursi. Dan capaian angka 23% merupakan perjuangan berat tersendiri. Perjuangan berat ini membuat agenda utamanya bukan lagi mengkoreksi Pasal 7A dan 7B UUD 1945 itu.
Namun demikian, jika partai-partai Islam dan atau partai-partai berbasis massa Muslim yang kini ada dan yang akan ada mampu menjalankan peran korektif melalui JR pada MK, kemungkinan besar, perjuangan ini akan mendapat respon konstruktif bagi masyarakat. Boleh jadi, manuver korektif masalah kontrol atas kinerja Presiden akan menjadi magnet bagi para konstituen. Mereka tinggal bicara atau merumuskan legal standingnya. Inilah daya juang yang sesungguhnya sangat diharapkan untuk melakukan koreksi mendasar terhadap sistem kekuasaan yang kian jauh dari akar Islam dan Pancasila yang notabene diagung-agungkan seluruh elemen bangsa ini, termasuk dari kalangan sekuler. Sekali lagi, daya juang itu bagian dari proses konstruktif untuk misi besar desekulerisasi politik yang akan berujung indah bagi tata-kelola kenegaraan atau kekuasaan.
Hembusan iblis diawali dari konsepsi pemikiran politik dan cara berpolitik, di antaranya pemikiran Lord Acton apalagi Machiavellie yang memang dilandasi nafsu tendensius (ingin kembali ke Tanah yang Dijanjikan: Palestina dengan cara apapun). Kedua pemikir politik ini – secara tak disadari – membelokkan cara pandang politik pemikir politik jauh sebelumnya. Filosuf Yunani, Aristoteles (384 – 322 SM) menggariskan bahwa politik adalah usaha umat manusia untuk mewujudkan kebaikan bersama.
Harus kita sadari bersama, demi konstruksi sistem politik praktis yang sejalan dengan nilai-nilai (high politics) sudah saatnya harus menengok kembali prinsip atau ketentuan ilahiyah-nubuwwah. Inilah jawaban konstruktif bagi krisis politik praktis dewasa ini. Tak dapat disangkal, platform politik praktis berangkat dari nafas sekulerisme yang memang sejalan dengan keinginan iblis. Seperti kita ketahui, sumpah serapah iblis akan selalu menyesatkan bahkan mencelakakan umat manusia dalam berbagai sektor kehidupannya, termasuk panggung politik. Meski politik adalah fitrah manusia sebagai zoon politicon dan awalnya mulia, tapi menjadi kotor citranya karena hembusan makhluk la’natullah itu.
Pemikiran Aristoteles ini tampak agamis. Jika kita cermati sosoknya sebagai salah satu murid Plato dan Alexander the Great (Dzulqarnaen) yang dikisahkan dalam Q.S Al-Kahfi Ayat 94 – 98, maka kita dapat membayangkan religiusitas sang Aristoteles sebagai penganut agama yang hanif, meski tidak bernama Islam. Persis agama yang dianut para nabi dan rasul sebelum Muhammad Saw menerima risalahnya.
Cukup disayangkan, pemikiran Aristoteles yang banyak dijadikan acuan tentang pemikiran politik dalam abad modern ini justru disingkirkan dan kini banyak didominasi oleh pemikiran politik yang mengkanalisasi ambisi personal yang liberal. Dan ambisiusitas itu tak lepas dari gerakan anti agama (sekulerisme). Di sinilah iblis datang dan memperkuatnya. Untuk misi penghancuran umat manusia.
Karena itu, yang harus disadari adalah siapapun aktor politik saat ini, yang ada di lembaga kepartaian ataupun lembaga-lembaga lainnya perlu waspada terhadap bisikan iblis yang pasti menyesatkan dan mencelakakan umat manusia. Jangankan di partai-partai sekuler, yang menyandang lebel partai Islam pun terus dihembusi nafas iblis. Maka, janganlah heran, manakala perilaku partai-partai politik Islam pun masih terjebak pada irama sekulerisme, sekaligus belum bisa responsif untuk memahami gerakan desekularisasi politik. Iblis memang terus menggoda, jangankan masih di panggung dunia ini, sampai liang lahat pun dikejar, meski fokusnya bukan lagi politik praktis. Wallahu a’lam.
Prof. Dr. AM Saefuddin, Pembina Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia.