Dilema HAM Universal Versus Kepentingan Nasional
The Universal Declaration of Human Rights (UDHR) – Deklarasi Konsepsi Hak Asasi Manusia Universal telah menjadi perdebatan masyarakat sipil internasional. Dokumen internasional yang di adopsi oleh Majelis Umum PBB mengajukan beberapa klaim agar daftar spesifik UDHR yang mengabdikan hak dan kebebasan semua manusia dapat di realisasikan di seluruh dunia.
Resolusi yang ditetapkan pada 10 Desember 1948 di Palais de Challiot Paris, Perancis mencakup 30 pasal tentang hak dasar dan hak kebebasan fundamental individu bangsa bangsa menegaskan memiliki karakter universal. Dokumen ini di anggap sebagai tonggak sejarah untuk meng universalitas sistem budaya, sosial, hukum, politik, agama sebagai hukum Hak Asasi Manusia yang dijabarkan dan dimasukkan dalam perjanjian internasional sebagai instrumen hukum di tingkat global.
Problematika muncul tatkala nilai nilai yang di bangun UDHR bertentangan dengan Konsepsi HAM Domestik dan Norma Agama. Jika saja dokumen UDHR tidak digiring bersifat absolut dan tidak bersifat memaksa dengan menetapkan sanksi pidana hukum internasional mungkin setiap negara akan memberi opsi opsi konsepsi universal yang lebih berprioritas tinggi. Tanpa menafikan keberhasilan kerja sama negara negara anggota PBB dalam bidang lain, bahwa sistem perlindungan dan kerjasama kolektif telah berhasil membentuk kerja sama antar bangsa di kancah politik internasional. Perwujudan lembaga internasional dalam PBB tentunya lahir untuk menangkap persoalan internasional yang tidak bisa dipecahkan dalam lingkup bilateral atau regional.
Konsepsi HAM Universal yang terundang undangkan dalam sistem nasional dan internasional menjadi persoalan tatkala diumumkan sebagai standar pencapaian yang berlaku kolektif. Sistem dan konsepsi ini bertemu dalam benturan dialog kepentingan nasional yang mengabaikan konstitusi dan hak hak moral domestik, melanggar hukum agama, merubah budaya dan menggunakan kekuatan kekuatan politik untuk meratifikasi nilai nilai universal dalam hukum positif negara. Langkah progresif ini tertuang dalam naskah awal piagam PBB (1942-1943) memuat ketentuan tentang Hak Asasi Manusia yang menembus batas kedaulatan negara.
Beberapa pasal dari 30 pasal dalam dokumen deklarasi universal yang bertentangan dengan kepentingan nasional adalah:
Pasal 16: Hak untuk menikah dan membentuk keluarga [Laki laki dan perempuan dewasa, tanpa batasan apa pun karena ras, kebangsaan atau agama, berhak untuk menikah dan berkeluarga. Mereka berhak atas hak yang sama dalam perkawinan, selama perkawinan dan pada saat pembubarannya. Perkawinan harus dilakukan hanya dengan persetujuan bebas dan penuh dari calon pasangan]. Dalam pasal ini setiap pasangan yang mau menikah bebas memilih pasangan beda agama, beda orientasi seksual dan melakukan tanpa keterlibatan orang tua yang diwajibkan oleh undang-undang negara dan undang-undang negara Islam.
Pasal 18: Kebebasan beragama dan berkeyakinan [Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, hati nurani dan beragama, hak ini termasuk kebebasan untuk berpindah agama atau kepercayaan dan kebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaannya dalam pengajaran, pengamalan, peribadatan dan ketaatan]. Dalam pasal ini bertentangan dengan undang-undang perlindungan agama di negara negara Islam.
Pasal 19: Kebebasan berekspresi [Setiap orang berhak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi, hak ini termasuk kebebasan untuk memiliki pendapat tanpa gangguan dan untuk mencari menerima dan menyampaikan informasi dan gagasan melalui media apa pun dan tanpa memandang batas]. Dalam pasal ini menjelaskan kebebasan tanpa batas selain menyampaikan aspirasi bebas juga membolehkan orang memilih menjadi identitas seksual baru yang tidak sesuai dengan etika agama, sosial dan adat istiadat kearifan lokal suatu negara terutama negara di Asia dan negara Islam yang mempunyai adab yang tinggi.
Pasal 21: Hak untuk ambil bagian dalam urusan publik [Setiap orang berhak untuk mengambil bagian dalam pemerintahan negaranya, secara langsung atau melalui wakil wakil yang dipilih secara terbatas. Berhak atas akses yang sama terhadap pelayanan publik. Kehendak rakyat menjadi dasar kekuasaaan pemerintahan, harus dinyatakan dalam pemilihan berkala, murni yang dilakukan dengan hak pilih universal dan setara diadakan dengan pemungutan suara rahasia atau prosedur pemungutan suara bebas setara]. Dalam pasal ini salah satunya tidak membatasi LGBTQ+ bisa menjabat sebagai pejabat publik di level apapun di suatu negara. Di negara Islam LGBTQ+ di kategorikan sebagai penyimpangan baik secara budaya maupun agama.
Beberapa pasal dalam Konsepsi HAM Universal mendapat kritik dari negara negara islam terutama Arab Saudi. Konsepsi HAM Universal yang berpemahaman sekuler adalah tradisi orang non Muslim tidak dapat dilaksanakan negara negara Islam atau negara yang mayoritas berpenduduk Islam. Maka pada 25 september 1969 lahir organisasi multilateral terbesar kedua di dunia Organization of The Islamic Conference, menciptakan instrumen HAMnya sendiri sesuai dengan nilai-nilai syariah Islam yang berasal dari yurisprudensi Islam.