SUARA PEMBACA

Gas 3 Kg Non-Subsidi, Kado Pahit Buat Emak-emak

Zalim. Itu kata yang tepat disematkan untuk pemerintah. Pasalnya, per 1 Juli, Pertamina secara resmi meluncurkan gas 3kg nonsubsidi yang dijual pada kisaran harga Rp39 ribu. Menjadi kado yang menyesakan dada bagi emak-emak pasca lebaran. Emak harus siap memutar otak dan mengencangkan ikat pinggang, untuk menyusun ulang anggaran belanja rumah tangga di tengah naiknya berbagai macam kebutuhan pokok.

Dikutip dari okezone.com, 22/6/2018, Plt Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati mengatakan, elpiji ini nantinya akan dijual bebas kepada masyarakat. Artinya baik masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) maupun yang mampu bisa membelinya.

Nicke menambahkan, meskipun menjual elpiji 3 kilogram nonsubsidi, namun perseroan sama sekali tidak akan mengurangi kuota tabung gas subsidi. Hal tersebut sama dengan yang dilakukan Pertamina saat menjual tabung gas 12 kg nonsubsidi saat itu.

Menanggapi kebijakan pemerintah tersebut, Ketua Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral Pengurus Besar Serikat Mahasiswa Muslim Indonesia (Semmi) Erlyando Saputra menilai, kebijakan menjual gas elpiji 3 kilogram non subsidi ke masyarakat menengah berpeluang merugikan masyarakat kelas bawah dan menciptakan kelangkaan tabung subsidi 3 kilogram. Banyak pihak akan memanfaatkan kebijakan ini untuk ambil untung besar dengan fokus menjual tabung non subsidi yang rencananya akan dijual dengan harga Rp39 ribu (rmol.co, 24/6/2018).

Apa yang dikatakan Erlyando cukup beralasan. Mengingat klasifikasi gas melon subsidi dan nonsubsidi dapat menciptakan kesenjangan sosial. Tak hanya itu saja, klasifikasi tersebut juga rentan menciptakan kecemburuan sosial di tengah masyarakat.

Perlu diingat adalah hak setiap warga negara mendapatkan keadilan sosial dan kesejahteraan yang sama. Adalah kewajiban dan tugas negara mencukupi seluruh kebutuhan warganya dengan layak. Tanpa memandang kaya ataupun miskin sama-sama berhak memperoleh kesejahteraan oleh negara.

Walau dengan dalih pemerintah bahwa penyaluran gas melon bersubsidi dianggap tidak tepat sasaran. Meluncurnya gas melon 3 kg nonsubsidi juga ditengarai banyak pihak sebagai upaya halus perintah untuk menarik gas melon 3 kg bersubsidi dari pasaran. Hal ini tidak mengherankan sebab pemerintah telah berulang kali melakukan kebijakan yang sama terhadap konversi bahan bakar.

Tercatat pada tahun 2007 pemerintah mengeluarkan kebijakan konversi minyak tanah ke gas LPG/elpiji. 2014 adalah batas akhir konversi dari minyak tanah ke gas bersubsidi 3 kg dan gas nonsubsidi 12 kg (muslimahnews.com, 29/6/2018). Sementara itu kelangkaan premium di SPBU membuat masyarakat secara perlahan mengalihkan bahan bakarnya ke pertalite (katadata.co.id, 4/4/2018).

Kini kebijakan yang sama kembali keluarkan oleh pemerintah per 1 Juli yaitu dengan meluncurkan gas melon 3 kg nonsubsidi. Dapat ditebak ke mana arah muara kebijakan ini berlanjut. Lagi-lagi rakyat siap perih sebab kebijakan zalim buah rezim kapitalis.

Inilah wajah buruk kapitalisme yang berorientasi pada materi. Dengan dalih negara sudah tak kuat menanggung beban anggaran belanja sebab mensubsidi rakyat. Masyarakat dibiarkan menanggung beban yang begitu berat dan terus bertambah berat. Apatah lagi di tengah kondisi perekonomian yang tak menentu dibayang-bayangi tingginya inflasi.

Padahal jika dicermati, proporsi belanja negara untuk biaya subsidi dan biaya layanan publik lainnya masih jauh lebih kecil dibandingkan dengan belanja pegawai dan biaya-biaya lainnya. Bahkan jika pemerintah mau, dengan semua potensi sumberdaya yang dimiliki Indonesia, pemerintah bisa mensejahterakan dan meringankan beban rakyatnya. Termasuk dengan cara memberi layanan elpiji atau bahan bakar dan layanan publik lainnya dengan mudah dan murah.

Masalahnya, paradigma kepemimpinan dan tata kelola negara yang diadopsi pemerintahan kapitalistik neolib saat ini bukan dalam kerangka riayah atau melayani dan mengurusi urusan umat, melainkan kepemimpinan dan tata kelola yang hanya berorientasi pada kekuasaan dan kepentingan kelompok atau rezim.

Pemerintah seolah pedagang yang menjajakan dagangannya yaitu sumber daya alam dan aset negara untuk dijual ke tangan para kapitalis. Ekonomi kapitalistik neolib telah mendoktrin negara mengharamkan subsidi bagi rakyatnya. Tampak dengan jelas keengganan negara dalam memberikan pelayanan dan kebutuhan yang mudah dan murah untuk rakyat.

Terbukti, hidup sejahterah dalam naungan rezim kapitalisme neolib hanya menjadi angan-angan kosong dan mimpi-mimpi semu yang dijanjikan para kapitalis yang rakus akan materi. Maka bagi kita yang waras tentunya tak ingin berlama-lama hidup dalam sistem rusak yang tak membawa maslahat bagi umat.

Saatnya kita sadar dan membuka mata bahwa kita membutuhkan Islam sebagai solusi dari seluruh problematika negeri termasuk migas. Sebab Islam memandang bahawa seorang pemimpin yang diangkat oleh umat, hakikatnya adalah penerima amanah dari Allah Ta’ala agar mengurusi rakyatnya sesuai dengan aturan-aturan Allah Ta’ala saja.

Aturan-aturan Allah Taala inilah yang akan menjamin tercapainya kebahagiaan dan kesejahteraan yang tentu secara fitrah didambakan oleh umat manusia manapun dan kapanpun. Di saat yang sama, bagi Sang Pemimpin, konsistensi terhadap pelaksanaan aturan-aturan ini diyakini akan menjadi sumber kebahagiaan abadi atau sebaliknya menjadi sumber sesalan panjang di akhirat kelak.

Ketakwaan pada Allah Ta’ala inilah yang akan menjadi pondasi untuk tata kelola negara dengan baik dan benar sesuai aturan syariat. Negara tidak akan pernah menerapkan kebijakan ekonomi yang menzalimi rakyatnya. Sistem ekonomi Islam dengan jelas mengatur tentang kepemilikan.

Islam telah menetapkan benda-benda tertentu sebagai milik individu, milik negara dan milik umum. Dalam konteks migas yang jumlahnya tak terbatas, Islam menetapkannya sebagai milik umum alias milik umat, bukan milik individu atau milik negara. Sehingga haram bagi negara melakukan swastanisasi, asingisasi maupun kapitalisasi.

Islam dengan rinci dan solutif mengatur tentang kepemilikan ini hingga terjamin hak-hak dasar setiap individu. Terkait dengan kepemilikan umum. Negara hanya bertugas mengemban amanah rakyat untuk mengelola dan mendistribusikannya semata-mata demi kesejahteraan rakyat tanpa terkecuali. Baik laki-laki maupun perempuan, kaya maupun miskin, tanpa memandang agama, bangsa, suku dan ras.

Maka tak heran jika sepanjang kurun 13 abad kepemimpinan Islam eksis, rakyat yang hidup di dalam naungannya merasakan kesejahteraan yang luar biasa. Semua hak-haknya terpenuhi dengan baik, hingga mereka punya banyak kesempatan untuk membangun taraf hidup yang sedemikian tinggi yang nampak dalam bentuk peradaban dan produk-produk fisik yang mencengangkan masyarakat dunia.

Di sepanjang itu pula umat Islam tampil sebagai pionir kemajuan dalam berbagai bidang kehidupan, sekaligus menjadi tempat belajar bagi Barat menemukan peradaban modern mereka.

Kini saatnya bagi kita untuk mencampakkan sistem kapitalisme neolib, yang menjadi sumber kezaliman demi kezaliman yang menimpa umat. Di satu sisi berupaya mengembalikan aturan Islam secara kaaffah ke tengah umat. Sebab hidup tanpa syariat-Nya hanya akan mengundang kehinaan dan kenistaan di tengah umat manusia. Na’udzubilLahi min dzalik. WalLahu’alam bishshawwab.

Ummu Naflah
Penulis Bela Islam, Member Akademi Menulis Kreatif

Back to top button