OPINI

Gejolak Harga Pangan, Lagu Lama Solusi Tambal Sulam?

Gejolak harga pangan menjadi lagu lama yang berulang setiap momen Ramadan. Semestinya, fenomena ini menjadi masalah yang tidak hanya dapat diprediksi, tetapi juga dapat diantisipasi. Sayangnya, tahun berganti tahun, lagu lama ini terus saja berulang. Lonjakan harga pangan di setiap momen Ramadan dan Lebaran menjadi pil pahit yang harus ditelan setiap tahunnya. Lalu, kapan lagu lama ini akan berakhir?

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mencatat, harga daging ayam dan daging sapi kompak mengalami kenaikan yang signifikan, di enam kantor wilayah (Kanwil) KPPU di seluruh provinsi. Di Kanwil IV KPPU yang meliputi Provinsi Jawa Tengah, DIY, Jawa Timur, Bali, NTB, dan NTT misalnya, harga ayam potong meningkat secara tajam mencapai 30%. Sementara itu di Kanwil VI KPPU yang meliputi wilayah Sulawesi, Maluku, dan Papua, tercatat daging ayam, telur ayam dan bawang merah, naik dari 11-25%. (detik.com, 16/4/20221).

Gejolak harga pangan sesungguhnya tidak hanya terjadi pada momen keagamaan dan tahun baru. Harga cabai misalnya, jauh hari sebelum Ramadan, harganya bahkan melebihi harga daging sapi, pecah rekor hingga Rp180 ribu per kilogram. Mahalnya harga pangan ini tentu mencekik perekonomian rakyat, apalagi saat pandemi belum juga usai. Padahal sesungguhnya Indonesia memiliki potensi SDA dan SDM yang luar biasa sebagai modal swasembada pangan.

Kegagalan pemerintah meredam gejolak harga pangan, tidak terlepas dari penerapan sistem kapitalisme atas negeri ini. Paradigma kapitalisme memandang negara sebagai fasilitator dan regulator bagi para korporasi. Tata kelola pangan hanya berpihak pada kepentingan antara penguasa dan para korporasi, yang dibangun di atas asas untung-rugi. Tidak heran, jika aspek produksi, distribusi, dan konsumsi dikuasai oleh korporasi.

Buah pahit kapitalisme dalam sektor pangan ini, jika dianalisis dapat ditinjau dari dua aspek: Pertama, buruknya distribusi pangan. Terjadi disparitas harga di petani dan konsumen. Harga di petani/peternak rendah, sedangkan harga di konsumen mahal. Kondisi ini tidak lain, ulah dari para kartel dan mafia pangan dalam rantai distribusi.

Negara juga ikut andil besar dalam memperburuk jalur distribusi. Peran negara yang hanya sebagai fasilitator dan regulator, tidak punya nyali dalam memberantas praktik kartel dan mafia pangan ini. Sebaliknya, tuan penguasa justru berperan menjaga kepentingan korporasi di jalur ini. Di satu sisi, mahalnya biaya logistik di jalur distribusi, sebab pencabutan subsidi BBM, juga ikut memengaruhi gejolak harga pangan.

Kedua, rendahnya hasil produksi pangan. Produksi pangan rendah sebab tidak dikelola dengan baik. Negara kurang optimal dalam membantu petani sukses produksi. Petani kesusahan sendiri dalam menghadapi mahalnya biaya produksi. Di sisi lain, alih-alih menyokong petani, pemerintah malah membuka kran impor pangan secara jor-joran.

Ironisnya, peran negara yang hanya sebagai regulator, menyebabkan penyediaan pangan dikuasai dan dikendalikan oleh korporasi. Ambil contoh, praktik bisnis ayam yang sangat menggiurkan, meskipun di tengah pandemi. Menurut pengamat ekonomi politik dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Salamudin Daeng, dua perusahaan besar di Indonesia, sukses menguasai 70% rantai suplai ayam. Sementara itu, seluruh jaringan produksi, jaringan distribusi, sampai pemasaran di kampung dan pasar becek; sebagian besar telah dikuasai segelintir korporasi multinasional raksasa. (rmoljabar.id, 28/1/2021).

Alhasil, hajat pangan rakyat menjadi komoditas bisnis korporasi. Lemahnya fungsi pengurusan dan pengawasan penguasa, membuat rakyat makin sengsara. Problematika pangan pun kian memburuk, sebab tidak tegasnya sanksi bagi para kartel dan mafia pangan. Rakyat pun kian menderita dalam pusaran krisis pangan.

Gejolak harga pangan yang terus berulang membuktikan solusi kapitalisme tidak menyentuh akar masalah. Solusi tambal sulam ala kapitalisme justru makin membuat korporatisasi pangan makin dalam. Lagi dan lagi rakyat yang dijadikan tumbal. Lalu, apa solusi solutif atas gejolak harga pangan ini?

Dalam paradigma Islam, negara adalah pengurus dan penjaga rakyatnya. Menjadi tanggung jawab negara untuk menjamin tersedianya kebutuhan dasar rakyat, termasuk menjamin tersedianya stok pangan di tengah rakyat. Sebagaimana sabda Baginda Nabi Muhammad Saw., “Imam (khalifah) raa’in (pengurus hajat hidup rakyat) dan dia bertanggung jawab terhadap rakyatnya.” (HR. Muslim dan Ahmad).

Kebijakan penguasa harus berdasarkan kepentingan rakyat, bukan kepentingan individu atau segelintir rakyat. Kebijakan ini dirancang untuk melindungi ketahanan pangan rakyat dan negara; serta menjaga stabilitas harga pangan. Kebijakan ini antara lain:

Pertama, di jalur produksi, negara wajib menjamin penyediaan pasokan pangan. Untuk itu menjadi kewajiban negara memaksimalkan dan mengoptimalkan produksi pangan. Hal ini dapat dilakukan dengan cara 1) optimalisasi pemanfaatan lahan; 2) menyokong petani dalam sains dan teknologi pertanian, penyediaan bibit unggul, modal untuk ongkos produksi, dll; 3) menjalin hubungan kerja sama dengan perguruan tinggi dalam riset dan inovasi teknologi pertanian/peternakan terbaru; 4) kebijakan impor yang berpihak kepada kepentingan rakyat, impor hanya dilakukan jika negara benar-benar tidak memiliki cadangan pangan.

1 2Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button