Goenawan Mohamad dan Politik
Dalam Majalah Tempo, 24 April 2017, Goenawan Mohamad dalam Catatan Pinggirnya menulis tentang ‘Ajak’. Ia mengakhiri tulisannya dengan: “…ketika agama bertaut dengan politik, agama tak hanya jadi alat. Agama jadi politik: jalan untuk menguasai orang lain. Dan dasar etis agama pun hilang. Tak ada lagi pengakuan akan kedaifan manusia. Agama jadi ambisi menaklukkan.”
Mengapa politik perlu diwarnai dengan agama? Memang Barat mempunyai pengalaman buruk ketika menggabungkan politik dengan agama. Di abad Pertengahan, Gereja dan Penguasa bersatu mengendalikan politik. Yang terjadi adalah kesewenang-wenangan dan pembungkaman terhadap ‘kebebasan berpendapat’. Hingga banyak kaum intelektual yang dpenjara atau dibunuh saat itu, karena bertentangan dengan doktrin gereja.
‘Kitab Bibel’ yang ‘sudah tidak suci lagi’ –karena banyak kalimat yang membingungkan- membuat para Paus atau pendeta menafsirkan seenaknya. Maka timbullah keliaran penafsiran yang dibungkus dengan hermeneutika dan lain-lain. Para pemimpin agama Kristen/Katolik melakukan itu, karena mereka sendiri bingung dengan kitabnya. Makanya jangan heran diantara mereka ada yang menghalalkan dan mempraktikkan homoseksual dan seterusnya.
Dalam konteks pengalaman Kristen Barat, maka perkataan GM ada benarnya. Dalam pengalaman Islam, bisa benar bisa tidak. Tergantung pada penguasanya/aktornya. Sebagaimana perkataan Presiden Bosnia, Alija Izetbegovic, ”Islam sempurna, tapi Muslim tidak (belum tentu).”
Jadi perbedaan antara Islam dan Kristen adalah tentang sumber rujukan/pedoman. Di Kristen sumber rujukan/pedoman meragukan –tidak ada orang-orang Kristen yang mempelajari Injil kata perkata dan menghafalkannya—sedangkan dalam Islam sangat banyak yang menghafal Al-Qur’an. Orang Kristen menjadikan kitabnya banyak yang untuk pamer atau pajangan. Misalnya bila ke gereja, mereka pamer membawanya, tapi di rumah jarang kitab itu dibaca atau dipelajari. Karena mereka kebingungan dan ‘telah didoktrin’ oleh pendeta bahwa yang mampu mempelajari hanyalah pendeta. Bibel secara kata per kata (verbatim) membingungkan.
Beda dengan Islam. Al-Qur’an adalah kitab terbuka. Siapa saja boleh membaca atau mempelajarinya. Semakin dalam ilmu yang dimiliki seseorang, maka ia akan semakin memahami Al-Qur’an dan semakin yakin kemukjizatannya. Al-Qur’an menyentuh kejiwaan secara personal kepada setiap orang yang mau ‘menyentuhnya’. Maka ada ulama yang menyatakan bahwa Al-Qur’an ibarat berlian. Dari sudut ilmu apapun memandangnya akan tampak cahaya Al-Qur’an. Disitulah kemujizatannya.
Mereka yang mempelajari sastra Al-Qur’an, dapat menjadi ahli sastra yang hebat. Sedangkan mereka yang mempelajari sastra Bibel, maka akan kebingungan sendiri. Karena Bibel sebagian besar bukan perkataan Yesus (Nabi Isa), tapi perkataan Paulus.
Al-Qur’an mengandung struktur kata yang mengagumkan. Mereka yang memahami Bahasa Arab akan terkagum-kagum melihat susunan kata Al-Qur’an yang indah dan menyentuh. Sehingga pakar hadits terkemuka Imam Turmudzi menyatakan, ”Kitab Allah memuat cerita orang-orang sebelum kamu dan mengkhabarkan orang-orang sesudah kamu. Ia merupakan hukum diantara kamu dan pasalnya tidak main-main. Pemimpin yang meninggalkannya akan dihancurkan Allah. Siapa yang mengambil petunjuk-petunjuk selainnya, akan Dia sesatkan. Ia merupakan tali yang kuat, peringatan al Hakim dan jalan yang lurus. Dengannya hawa nafsu tidak akan tergoncang dan lisan tidak akan ceroboh. Ulama tidak akan kenyang memakannya. Ia tidak dibuat banyak berulang kata dan keajaibannya tidak pernah luntur. Ia yang manakala didengar oleh jin, mereka akan berkata “Sesungguhnya kami telah mendengar Al-Qur’an yang ajaib. Yang menunjuki kepada (jalan) cerdik, lalu Kami beriman kepadanya” (QS al Jin 1). Siapa berucap dengannya, maka akan benar. Siapa mengamalkannya akan mendapat pahala. Siapa menggunakan hukumnya berarti adil dan siapa mengajak kepadanya, akan ditunjukkan ke jalan yang lurus.” (Lihat Syekh Muhammad Ali ash Shabuni, Ikhtisar Ulumul Quran/At Tibyan fi Ulumil Quran).
***