Hancur dan Bangkitnya Peradaban Menurut Arnold Toynbee
Pakar sejarah Arnold Toynbee menekankan pentingnya peran agama dalam suatu peradaban. Toynbee tidak menekankan pada wacana clash of civilizations, sebagaimana Samuel Huntington. Tapi, ia lebih menekankan aspek ‘peran dinamis agama dan spiritualitas dalam kelahiran dan kehancuran satu peradaban’.
Ia menyimpulkan, bahwa banyak peradaban yang hancur (mati) karena ‘bunuh diri’ dan bukan karena benturan dengan kekuatan luar. Dalam studi yang mendalam tentang kebangkitan dan kehancuran peradaban, Toynbee menemukan, bahwa agama dan spiritualitas memainkan peran sebagai ‘chrysalis’ (kepompong), yang merupakan cikal bakal tumbuhnya satu peradaban.
Antara kematian dan kebangkitan satu peradaban baru, ada kelompok yang disebut Toynbee sebagai ‘creative minorities’ – yang dengan spiritual yang mendalam (deep spiritual) atau motivasi agama (religious motivation) – bekerja keras untuk melahirkan satu peradaban baru dari reruntuhan peradaban lama.
KareNa itu, aspek spiritual memainkan peran sentral dalam mempertahankan eksistensi suatu peradaban. Peradaban yang telah hilang inti spiritualitasnya, maka ia akan mengalami penurunan (Civilizations that lost their spiritual core soon fell into decline). (Lihat, Patricia M. Mische ‘Toward a Civilization Worthy of the Human Person’, introduction dalam buku Toward Global Civilization? The Contribution of Religions, Peter Lang Publising. Inc., New York, 2001, hlm. 6).
***
Berdasarkan analisis Toynbee, bisa dipertanyakan, dimana posisi Islam dalam upaya kebangkitan ‘peradaban Indonesia’? Berbagai perdebatan seputar hubungan agama dan negara di Indonesia dan diskursus tentang Islam dan sekularisme dalam sejarah perjalanan Indonesia bisa dijadikan bahan untuk melakukan introspeksi perjalanan bangsa ini.
Generasi Indonesia berikutnya saat ini berkesempatan mengkaji kembali peran agama dalam kehidupan bangsa, tanpa terjebak pada istilah dan konsep-konsep klasik popular yang berasal dari sejarah peradaban lain seperti istilah ‘sekular’ ‘medieval’, ‘teokratis’, ‘militan’, ‘radikal’ dan juga polarisasi politik yang ada.
Indonesia perlu melihat secara cermat pada peradaban mana negara ini akan dikaitkan, baik pada masa lalu maupun masa kini dan mendatang? Apakah Indonesia mau mengkaitkan dirinya dengan peradaban Islam, Hindu-Jawa, atau Barat? Indonesia perlu menelaah dengan cermat sejarah dan perjalanan berbagai peradaban dalam meraih kebangkitan.
Bagaimana Inggris, Perancis, Jerman, Amerika Serikat, Jepang, Cina, dan sebagainya, mampu menjelma negara-negara yang disegani saat ini dalam percaturan dunia internasional. Juga, bagaimana muncul dan bertahannya peradaban Islam di Andalusia yang bertahan selama 800 tahun dan Ottoman yang bertahan selama 600 tahun?
Selama puluhan tahun dalam perjalanannya, Indonesia masih sibuk untuk mengaitkan dirinya dengan ‘peradaban Majapahit’. Suara-suara yang memitoskan kebesaran Majapahit (“Majapahitisme”) justru mendapatkan kritik dari kalangan kaum Hindu sendiri.
Majalah Hindu tertua, RADITYA, (edisi September 2008) menurunkan laporan utama yang mengkritik pengagungan Majapahit:
“Majapahitisme atau keterpesonaan terhadap Hindu di zaman majapahit tidaklah ideal. Pertama, karena pada masanya saja, masyarakat Hindu Majapahit gagal mempertahankan eksistensinya, gara-gara lebih banyak terlibat konflik internal bikinan elite Majapahit ketika itu. Siwa-Budha kala itu pun tidak bisa berperan banyak dalam mewujudkan masyarakat yang rukun, tat twam asi dan sejenisnya. Majapahit selain berhasil menundukkan banyak daerah bawahan, juga sibuk perang saudara. Agama di dalam masyarakat seperti ini lebih menjadi bersifat gaib, eksklusif, hanya untuk berhubungan dengan dewa-dewa yang abstrak. Agama Siwa Budha meskipun sudah menjadi agama kerajaan tidak bisa diamalkan oleh elite di sana yang lebih dikuasai motif politik, motif perebutan kekuasaan. Agama gagal menginspirasi kehidupan sehari-hari tentang hal-hal lebih praktis menyangkut pola interaksi antarindividu…Jika Majapahit meninggalkan hal-hal pahit bagi penganut Hindu ketika itu, lantas apa enaknya mengenang hal-hal pahit?”
Kajian yang kritis terhadap berbagai peradaban ini sangat penting, agar tidak muncul dua sikap ekstrem: yaitu ‘apriori’ dan ‘latah’. Apriori, artinya menolak secara mentah-mentah unsur positif dari peradaban lain, tanpa memahaminya dengan baik. Misalnya, kaum Muslim perlu realistis, bahwa dalam berbagai aspek, Barat telah mengambil alih dan mengembangkan tongkat estafet peradaban yang pernah dikembangkan Islam selama ratusan tahun.