SIRAH NABAWIYAH

Hijrah: Mukadimah Revolusi Peradaban

إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ

“Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS ar-Ra’d [13]: 11)

Hijrah adalah perubahan, yang dalam terminologi Qur’an bermakna perubahan dari kondisi jahiliyah dan zhulumaat (kebodohan, kezaliman dan kegelapan) kepada kondisi yang terbimbing dengan petunjuk (hidayah, nuur) dari Rabb Yang Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana.

Makna jahiliyah sendiri dalam Al-Qur’an adalah suatu kondisi di mana manusia hidup tanpa berpedoman pada petunjuk Allah (Kitabullah), sehingga dalam berpikir, bersikap dan berperilakunya tidak sesuai atau bahkan bertentangan dengan sistem dan aturan dari Allah.

Pada kondisi tersebut manusia dikategorikan sebagai zalim dan bodoh (ظَلُوْمًا جَهُوْلً ), sekalipun memiliki keahlian dalam bidang-bidang bahasa/sastra (seperti bangsa Quraisy) ataupun telah mencapai kemajuan peradaban materi (seperti kaum ‘Aad, Tsamud dan Fir’aun).

Kejahiliyahan terbesar manusia adalah kemusyrikan, dan kezaliman terbesar yang dilakukan adalah kemusyrikan yang sistemik.

Pada awalnya manusia itu bertauhid dan mengikuti petunjuk dari Allah. Namun dalam perjalanan pada generasi berikutnya terjadi perselisihan, sehingga kemudian muncul golongan yang mulai menyimpang dari aturan (syariah), berlanjut pada penyimpangan terhadap prinsip (akidah) tauhid dan berujung pada penyimpangan perilaku (akhlak).

Hal ini disebabkan karena adanya kelompok manusia yang lebih memilih mengikuti hawa nafsu dan ambisinya dibanding mengikuti pedoman/petunjuk dari Allah SWT.

Selanjutnya generasi dari golongan yang telah “menuhankan” hawa nafsunya ini mulai mendominasi dan mengendalikan kehidupan sosial-politik kaum/bangsanya.

Kelompok yang lebih berkuasa kemudian membuat aturan dan sistem hidup sesuai selera dan pemikiran mereka, yang tentunya menguntungkan kelompok ini secara sosial, politik, ekonomi dll. Sementara kelompok yang lebih lemah “dipaksa” atau “terpaksa” mengikuti sistem tersebut.

كَانَ النَّاسُ اُمَّةً وَّاحِدَةً فَبَعَثَ اللّٰهُ النَّبِيّٖنَ مُبَشِّرِيۡنَ وَمُنۡذِرِيۡنَ ۖ وَاَنۡزَلَ مَعَهُمُ الۡكِتٰبَ بِالۡحَـقِّ لِيَحۡكُمَ بَيۡنَ النَّاسِ فِيۡمَا اخۡتَلَفُوۡا فِيۡهِ ‌ؕ وَمَا اخۡتَلَفَ فِيۡهِ اِلَّا الَّذِيۡنَ اُوۡتُوۡهُ مِنۡۢ بَعۡدِ مَا جَآءَتۡهُمُ الۡبَيِّنٰتُ بَغۡيًا ۢ بَيۡنَهُمۡ‌ۚ فَهَدَى اللّٰهُ الَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡا لِمَا اخۡتَلَفُوۡا فِيۡهِ مِنَ الۡحَـقِّ بِاِذۡنِهٖ‌ ؕ وَاللّٰهُ يَهۡدِىۡ مَنۡ يَّشَآءُ اِلٰى صِرَاطٍ مُّسۡتَقِيۡمٍ

“Manusia itu (dahulunya) umat yang satu (dalam ketauhidan). (Setelah timbul perselisihan,) lalu Allah mengutus para nabi (untuk) menyampaikan kabar gembira dan peringatan. Allah menurunkan bersama mereka Kitab yang mengandung kebenaran untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Tidak ada yang berselisih tentangnya, kecuali orang-orang yang telah diberi (Kitab) setelah bukti-bukti yang nyata sampai kepada mereka, karena kedengkian di antara mereka sendiri. Maka, dengan kehendak-Nya, Allah memberi petunjuk kepada mereka yang beriman tentang kebenaran yang mereka perselisihkan. Allah memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki ke jalan yang lurus (berdasarkan kesiapannya untuk menerima petunjuk).”
(QS al-Baqarah [2]: 213)

Imam at-Thabari dan al-Hakim mengeluarkan hadits dengan sanad yang sahih dari Ibnu Abbas: “Antara zaman Nuh dengan Adam adalah sepuluh abad. Semua manusia pada zaman ini hidup sesuai syariat Allah, kemudian mereka berselisih, maka Allah mengutus para nabi sebagai pemberi kabar gembira dan peringatan.” Dia juga berkata: “Demikian pula dalam qiraat Abdullah: {كان الناس أمة واحدة فاختلفوا} ‘Dahulu manusia dalam satu kalimat, kemudian mereka berselisih’.” (dishahihkan al-Hakim dan disepakati adz-Dzahabi – Mustadrak 2/546, dan Ibnu Katsir menshahihkan sanad hadits ini dalam tafsirnya 1/250).

1 2Laman berikutnya

Artikel Terkait

BACA JUGA
Close
Back to top button