Harta dan Anak adalah Perhiasan Dunia

Tafsir Al-Maraghi bahkan memperluas makna ini, tidak hanya terbatas pada ibadah ritual, tetapi juga mencakup semua perbuatan baik yang tulus semata-mata karena Allah. Ini bisa berupa membantu sesama, berbuat baik kepada tetangga, menjaga lingkungan, atau bahkan sekadar tersenyum dengan niat baik.
Lebih lanjut, Tafsir An-Nur menegaskan bahwa al-bāqiyātu aṣ-ṣāliḥātu adalah semua amal ketaatan yang manfaatnya berlangsung lama bagi manusia. Ini termasuk jihad di jalan Allah, memberikan pertolongan kepada mereka yang membutuhkan, serta membantu penghidupan kaum miskin. Semua ini, menurut An-Nur, “lebih baik di sisi Allah dan lebih kekal, karena pahalanya kembali kepada yang mengerjakannya.”
M. Quraish Shihab menyebutkan dalam kitab tafsirnya Al-Misbah bahwa Kata al-bāqiyātu aṣ-ṣāliḥātu bukan sekedar gabungan dua kata sifat biasa. Penempatannya yang mendahulukan “kekal” (al-bāqiyātu) sebelum “baik” (aṣ-ṣāliḥātu) memiliki makna yang sangat mendalam. Ini seolah menegaskan sebuah kontras fundamental dengan “harta dan anak-anak” yang disebutkan sebelumnya. Harta dan anak-anak, meskipun berharga dan menjadi hiasan dunia, pada hakikatnya tidak kekal. Sementara itu, al-bāqiyātu aṣ-ṣāliḥātu secara khusus menekankan kekekalan amal saleh, membedakannya dari kenikmatan duniawi yang fana.
Al-bāqiyātu aṣ-ṣāliḥātu mencakup segala bentuk ketaatan dan perbuatan baik yang dilakukan dengan niat ikhlas karena Allah. Ini bukan hanya ibadah ritual, tetapi juga setiap tindakan positif yang membawa manfaat dan dilakukan dengan tulus. Penekanannya pada “kekal” menegaskan bahwa pahala dari amal ini akan terus mengalir, menjadi bekal abadi yang akan ditemui di akhirat kelak.
Dengan menyebut amal kebajikan ini sebagai sesuatu yang “lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu dan lebih baik untuk menjadi harapan”, Allah memberi isyarat bahwa orientasi hidup seorang mukmin semestinya tidak berhenti pada apa yang bisa dilihat, dihitung, atau dibanggakan di dunia. Justru yang paling bernilai adalah hal-hal yang abadi, yang tertanam dalam jiwa, yang ditulis di sisi Allah, dan yang akan kita bawa sebagai bekal ketika harta dan anak sudah tak lagi menyertai.
Ayat ini menjadi pengingat relevan di zaman digital ini, di mana banyak yang merasa kosong di balik pencapaian materi. Ayat ini menjelaskan bahwa “harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia”, namun sesungguhnya “amal kebajikan yang abadi” adalah yang paling bernilai di sisi Tuhan dan menjadi harapan terbaik.
Konsep “al-bāqiyātu aṣ-ṣāliḥātu” mencakup berbagai bentuk ketaatan dan perbuatan baik yang dilakukan tulus karena Allah. Para ulama menafsirkannya sebagai zikir, shalat, sedekah, menanam kebaikan dalam hidup orang lain, serta membantu mereka yang membutuhkan dan berbuat baik kepada tetangga.
Bahkan di zaman sekarang yang terkadang menganggap perbuatan baik sebagai pencitraan, esensi dari “al-bāqiyātu aṣ-ṣāliḥātu” tetaplah tentang niat ikhlas dan dampak jangka panjangnya. Oleh karena itu, ayat ini mengajak kita untuk mengevaluasi kembali prioritas hidup dan berinvestasi pada amal-amal yang pahalanya akan terus mengalir, menjadi warisan sejati yang tak lekang oleh waktu dan fananya dunia.[]
Nur Ayu, Mahasiswi Universitas PTIQ Jakarta.