Hasan al Bana, Sayid Qutb, Maududi, An Nabhani dan Al Attas
Taqiyuddin an Nabhani (1909-1977)
Sebagaimana Al Banna, Qutb, dan Maududi, an Nabhani adalah ulama yang jenius. Ia bukan hanya membuat organisasi yang mendunia Hizbut Tahrir, tapi ia juga membuat buku-buku dan kurikulum pembinaan untuk anggota Hizbut Tahrir.
Kader HIzbut Tahrir harus menamatkan 13 kitab, agar menjadi kader yang hebat. Ia mempunyai cita-cita membentuk Khilafah Islamiyah. Dalam bukunya Kaifa Hudimatil Khilafah, Bagaimana Hancurnya Khilafah, ia menjelaskan dengan rinci sejarah kehancuran Khilafah Islamiyah terakhir di Turki.
Ia mendidik kader-kadernya agar berfikir internasional, bukan nasional. Ia mengharamkan kadernya menggunakan kekerasan dalam berjuang. Ia mendidik kader-kadernya bahasa Arab, agar bisa memahami al Quran dan Sunnah. Terutama memahami buku-buku yang ia tulis.
Bukunya hebat-hebat. Dalam Nidham Islam misalnya ia jelaskan tentang masalah keyakinan manusia secara mendasar. Pelajaran aqidah Islam (keyakinan Islam) ia jelaskan dengan logis dan pemikiran yang terstruktur.
Memang kelebihan an Nabhani adalah ia senantiasa menjelaskan al Quran dan Hadits dengan penggunaan akal yang tinggi. Begitu pentingnya akal ini, hingga Taqiyudin menulis buku at Tafkir dan Sur’atul Badihah (Pemikiran dan Pemikiran yang Cemerlang).
Ia menulis buku untuk kader Hizbut Tahrir, mulai dari masalah aqidah hingga masalah politik. Ia sangat yakin bahwa suatu saat Khilafah Islamiyah akan terbentuk (sesuai dengan hadits Rasulullah). Makanya ia menulis Sistem Ekonomi dalam Islam, Sistem Politik dalam Islam, Daulah Islamiyah, Sistem Sosial dalam Islam dan lain-lain.
Menurutnya Islam bukan hanya sistem ruhani atau sistem moral, tapi juga sistem kehidupan (sistem hukum). Yang menarik ia menulis juga Ushul Fiqh. Kemampuannya menulis Ushul Fiqh ini menunjukkan pemahamannya yang mendalam terhadap Al-Qur’an dan Sunnah.
Memang yang membedakan Taqiyudin dengan tokoh-tokoh di atas adalah pemahamannya yang mendalam terhadap sejarah dan politik dunia. Ia menulis sejarah kehancuran khilafah dengan rinci. Ia menulis sejarah pendirian Negara Madinah dengan detil.
Buku-bukunya yang mencerahkan akal itu, membuat para mahasiswa dan intelektual tekun mengkaji karya-karyanya. Mereka masuk ke organisasi Hizbut Tahrir dengan sukarela. Mereka merasakan betul pencerahan akal dan jiwa mereka ketika membaca kitab-kitab yang ditulis Taqiyudin an Nabhani.
Memang bila kaji secara serius, karya Taqiyudin ini luar biasa. Misalnya dalam kitabnya Tafkir, ia katakan bahwa pemikiran politik adalah pemikiran yang ‘paling tinggi’. Beda dengan pemikiran hukum yang obyeknya tidak berubah, pemikiran politik obyeknya berubah-ubah. Seorang intelektual Muslim harus memahami perubahan politik (perubahan zaman) ini.
Ia katakan juga bahwa buah akal itu dinikmati manusia. Semua karya manusia adalah buah dari akal. Termasuk seni musik yang ‘menyatukan antara akal dan rasa’.
Akal menurut Taqiyudin bisa berfungsi kalau seseorang mempunyai ilmu atau informasi sebelumnya. Orang tahu fungsi handphone, karena ia dapat informasi sebelumnya tentang handphone itu. Inilah yang membedakan para ilmuwan komunis dengan ilmuwan Islam. Ilmuwan komunis tidak percaya kepada manusia pertama dan manusia pertama yang diciptakan Tuhan.