NUIM HIDAYAT

Hizbut Tahrir, Ikhwanul Muslimin dan Insists (2)

Mengapa aku tertarik dengan Hizbut Tahrir? Mungkin HT adalah ‘pengembaraan puncak’ intelektual dan pengalaman jiwaku.

Sejak kecil aku sudah terbiasa hidup dalam lingkungan Islam. Aku menjalankan shalat lima waktu sekitar lima atau enam tahun. Ketika SD kesibukanku penuh dengan ilmu pengetahuan. Pagi, sekolah umum di SD. Siang sekolah Arab di tetangga desaku, Banjarjo. Malam ngaji kitab Arab Jawi dengan pamanku kiai Sadili.

Di rumah pun pekerjaan tak henti. Ibuku jualan minyak gas. Bapak, disamping menjadi guru juga usaha menjahit dan obras dengan ibu. Jadi di masa kecil kehidupanku penuh dengan ilmu dan kerja. Jarang waktu aku buang dengan main-main. Meski kadang kalau ada waktu kosong, aku main bola, main catur, main karambol atau lainnya.

Di sekolah dasar, guru-guru menyenangiku. Karena aku dianggap anak pintar. Ketika SD, seringnya aku sekolah diantar bapak. Bapak saat itu menjadi guru di SDN Purwosari yang lokasinya sekitar 3 km dari sekolahku. Karena tubuhku kecil, kadang aku dikerjain oleh anak-anak yang bertubuh besar. Diantaranya aku pernah ‘disuruh mijat kakinya’ Rudi.

Tapi di SD itu tidak nomer satu prestasinya. Aku nomer dua. Teman dekatku Budi Saptono yang nomer satu. Ia rumahnya dekat sekolah, dan aku suka main di rumahnya. Ketika latihan pramuka, aku kadang bareng baris berbaris berdua dengan Budi.

Entah mungkin ada bakat kepemimpinan, di SD itu beberapa kali menjadi Komandan Upacara. Aku lancar menjadi komandan dan percaya diri. Bukan hanya itu, sewaktu mau perpisahan SD, aku sempat latihan drama. Aku tiba-tiba bisa melawak dan guruku Ibu ‘Maimonah’ tertawa ngakak.

Di SD Banjarjo itu aku mengalami hal yang agak menakjubkan. Yaitu ketika ‘kelas 6’. Saat itu tubuhku terasa ringan. Aku bisa jalan di sebuah batang bambu. Bisa ‘kayang’ (tangan ke belakang dan kaki tertekuk). Jari-jariku bisa aku tekuk ke depan dan belakang dan seterusnya.

Di kelas 6 itu aku ingat orang tuaku pergi haji. Aku dihadiahi mobil-mobilan yang diremote dengan batere. Dan hadiah terkeren sebenarnya kamera. Tapi saat itu kamera digunakan bapak untuk memotret di sekolahnya. Setelah bapak meninggal, kamera dari ‘haji’ itu aku gunakan untuk memotret peristiwa kerusuhan Mei 1998. Ada dua rol film aku habiskan dalam peristiwa pembakaran, penjarahan dan aksi-aksi kriminal lainnya untuk menurunkan Presiden Soeharto. Sayang aku tidak menyimpannya.

Aku berikan dua rol film (dalam bentuk foto cetak) kepada Fadli Zon. Tapi kata Fadli, dokumentasi foto itu hilang, ketika rumahnya yang di Rafflesia Hills itu terbakar (dibakar). Seingatku aku juga menyimpannya di penerbit Khairul Bayan. Tapi redaktur foto disitu, Achsan Abidin, aku tanya ‘sudah nggak punya’.

Dalam peristiwa keruhuhan Mei 1998 itu banyak aksi mengerikan yang aku lihat dengan mata kepalaku sendiri. Mobil truk ditabrakkan ke pom bensin, mobil-mobil dikeluarkan dibakar di jalan raya, mall-mall dijarah dan lain-lain. Intinya Jakarta dibakar untuk memaksa Presiden Soeharto turun. Padahal saat itu Pak Harto lagi mesra-mesra dengan umat Islam.

Jadi ‘bisa dipastikan’ pelakunya adalah elite-elite non Muslim (termasuk militer non Muslim) yang tidak suka pak Harto dekat dengan kaum Muslim. ‘Bodohnya’ ada elite Muslim yang ikut dalam skenario non Muslim itu.

1 2 3Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button