Hukum Merayakan Tahun Baru Masehi
Imam Ibnu Al-Qayyim (wafat 751 H), salah seorang ulama mazhab Ahmad bin hambal, mengatakan: “Adapun mengucapkan selamat terhadap simbol-simbol kekafiran yang merupakan ciri khususnya, maka hukumnya haram berdasarkan kesepakatan para ulama, seperti seseorang mengucapkan selamat terhadap hari raya orang kafir dan puasa mereka, misalnya ia mengatakan semoga hari raya ini berkah bagimu, atau semoga engkau bahagia dengan hari raya ini, dan yang semisalnya. Maka dengan ucapannya ini, andai ia selamat dari kekafiran maka ia tidak akan lepas dari perbuatan yang haram.” (Ahkaam Ahli Dzimmah: 1/441).
Beliau juga berkata: “Sebagaimana tidak boleh bagi kaum musyrikin untuk menampakkan perayaan mereka, demikian pula tidak boleh bagi kaum muslimin untuk mendukung, membantu dan ikut hadir dalam perayaan mereka berdasarkan kesepakatan ahlul ilmi (ulama) yang benar-benar ahli. Dan para ahli Fiqh telah menegaskan haramnya dalam buku-buku mereka.” (Ahkaam Ahli Dzimmah: 2/1245).
Imam Al-Buhuti dalam kitabnya Kasyful Qina’ ‘an Matnil Iqna’ mengatakan: “Haram mengucapkan selamat, takziah (mengunjungi orang mati), iyadah (menjenguk orang sakit) kepada kepada orang-orang kafir, karena itu berarti mengangungkan mereka meneyerupai (mengucapkan) salam. Boleh menjenguk orang sakit dari orang kafir apabila diharapkan Islamnya dan hendaknya mengajaknya masuk Islam. Karena dalam sebuah hadits riwayat Bukhari, Nabi pernah menjenguk seorang Yahudi masuk Islam dan mengajaknya masuk Islam, lalu si Yahudi masuk Islam, lalu ia berkata: “Alhamdulillah Allah telah menyelamatkan akau dari neraka.” Dan karena menjenguk orang sakit itu termasuk akhlak mulia. Dan haram hukumnya menghadiri hari raya orang Yahudi, Nasrani dan hari raya orang-orang kafir lainnya dan haram menjual (kebutuhan mereka) pada hari itu, karena hal itu termasuk mengagungkan mereka sehingga hal ini menyerupai memulai uacapan salam.” (Kasyful Qina’: 3/131)
Imam Asy-Syarbaini (wafat 977 H), salah seorang ulama mazhab Syafi’i, mengatakan: “Dan diberi hukuman ta’zir seorang yang mengikuti orang-orang kafir dalam merayakan hari raya mereka. Begitu pula orang yang memberikan ucapan selamat kepada seorang kafir dzimmi di hari rayanya.” (Mughni Muhtaj: 5/526).
Bahkan lebih tegas lagi lagi Imam Ibnu hajar Al-Haitsami (wafat 982 H), salah seorang ulama mazhab Syafi’i, mengatakan: “Kemudian aku melihat sebahagian ulama mu’taakkhirin menuturkan pendapat yang sama denganku, lalu ia berkata: termasuk bid’ah terburuk adalah persetujuan muslim pada nasrani pada hari raya mereka dengan menyerupai dengan makanan mereka dan hadiah dan menerima hadiah pada hari itu.
Kebanyakan orang yang melakukan itu adalah kalangan orang Mesir. Nabi saw bersabda: “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka ia bagian dari mereka.” Bahkan Ibnu Al-Hajj mengatakan: “Tidak halal bagi seorang muslim menjual kepada seorang nasrani apapun termasuk kebutuhan hari rayanya, baik daging, lauk atau baju. Dan mereka tidak boleh dipinjami apapun (untuk kebutuhan itu), walaupun hanya hewan tunggangan, karena itu menolong kekufuran mereka. Dan bagi pemerintah hendaknya mencegah umat Islam atas hal itu, salah satunya adalah hari raya Nairuz (hari raya majusi), dan wajib menampakkan diri pada hari raya mereka.” (Al-Fatawa al-Fiqhiyyah: 4/238-239)
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin berkata: “Memberikan selamat kepada orang-orang kafir dalam perayaan natal atau perayaan agama merek ayang lainnya adalah haram menurut kesepakatan ulama.” (Majmu’ Al-Fatawa wa Rasaail: 3/45)
Demikian di antara pendapat atau fatwa para ulama sejak dulu sampai hari ini yang mengharamkan mengucapkan selamat hari raya agama kafir dan merayakannya. Dalam masalah ini para ulama dulu tidak ada khilafiah (perbedaan pendapat).
Umat Islam sebaiknya tidak membuat acara apapun pada malam pergantian tahun baru, kegiatan keagamaan seperti yasinan, pengajian, zikir akbar dan sejenisnya pada malam tahun baru Masehi. Meskipun acara tersebut baik, namun perlu dihindari pada bersamaan malam tahun baru, agar tidak terkesan perbuatan tersebut merayakan tahun baru Masehi. Hal ini sesuai dengan pengamalan kaidah Fiqh: “Dar’u al-mafaasid muqaddam min jalbi al-mashaalih”
(meninggalkan keburukan lebih diutamakan daripada mendatangkan kemaslahatan). Dalam hal ini, merayakan tahun baru merupakan mafasid (keburukan) yang mesti ditinggalkan, meskipun diisi dengan acara keagamaan atau ibadah. Hal ini termasuk perbuatan merayakan tahun baru.
Terlebih lagi mengkhususkan ibadah atau meyakini keutamaan ibadah tertentu pada waktu malam tahun baru tanpa dalil yang shahih adalah perbuatan bid’ah yang dilarang dalam agama. Selain itu juga agar perbuatan tersebut terkesan mencampuradukkan antara kebenaran dan kebatilan. Hal ini dilarang dalam Islam. Ibadah memang baik untuk dikerjakan, namun dengan tujuan memperingati atau merayakan tahun baru itu kebatilan. Karena merayakan tahun baru itu sendiri kebatilan.