OPINI

Indonesia dalam Cengkeraman Oligarki Politik

Serangkaian data tersebut ini seharusnya menjadi tamparan keras bagi pemerintah untuk mengkaji ulang arah kebijakan lngkungan yang sudah dibentuk. Karena, aturan yang dibuat pemerintah bersama DPR justru menguntungkan segelintir pengusaha dan korporasi ekstraktif dengan menggadaikan nasib jutaan masyarakat marjinal. Yang menyedihkan lagi, kebijakan “sesat” itu juga dipandang sebelah mata ketika dikaitkan para pihak yang menggantungkan hidupnya pada kegiatan pemenfaatan SDA.

Seperti kita ketahui, kehadiran UU Minerba baru – secara langsung – juga diikuti dengan penghadiran tenaga kerja asing (TKA) dengan memberikan izin yang seluas-luasnya terhadap TKA. Bahkan, lebih dari itu: fasilitas pengamanan ekstra sejak mereka tiba di bandara internasional sampai ke areal industrinya. Bahkan, publik yang menyoroti kehadiran TKA dari negeri Tirai Bambu yang berbondong-bondong, seringnya dinihari diperhadapkan jeratan hukum, karena dinilai mengumbar sentimen kebencian. Bahkan, pengupload dan pemviral berita kedatangan TKA yang kebanyakan kekar badannya bagai paramiliter itu dikejar dan diancam jeratan hukum (UU ITE). Ironisnya, tenaga kerja lokal yang terancam atas kehadiran TKA dan mereka menuntut keadilan juga diperhadapkan tindakan represif.

Kita saksikan juga, produk penguat UU Minerba yang baru, yakni UU Cipta Kerja sudah mengundang reaksi massif. Dalam hal ini DPR demikian ngotot untuk melahirkan UU Omnibus Law kisaran 1.000-an halaman yang super ngebut itu. Dan ketika disahkan Presiden dan menuai reaksi secara massif- demontratif, kita saksikan betapa hak rakyat untuk menyatakan pendapat dijawab secara mobokratif oleh “tuan-tuan” yang notabene dari, oleh dan untuk rakyat. Aksi beringas itu seperti tak kenal lagi “ibu kandung” yang melahirkannya (dari rakyat) itu.

Sadisme itu diberlakukan juga saat sebagian masyarakat menolak keras atas pengesahan RUU Pedoman Ideologi Pancasila (PIP). Dan sadisme itu juga diberlakukan kepada elemen masyarakat, bukan hanya yang turun ke jalan, tapi juga kepada suara lantang yang jauh dari radius lapangan parlemen. Para kritikus harus menghadapi kejaran kriminalisasi, persekusi bahkan jeruji di balik penjara. Peristiwa pembantaian terhadap enam laskar FPI pada 7 Desember 2020 yang sejatinya mengarah pada diri Habib Rizieq Syihab merupakan varian tindakan rezim anti kritik.

Jika kita gunakan kacamata demokrasi dan hukum – pembubaran organisasi Front Pembela Islam (FPI) – merupakan tindakan kulminatif anti kritik itu. Tindakan itu sudah melampaui batas negara hukum yang bersistem demokrasi. Kesimpulan esensialnya, rezim ini – secara sistimatis dan terencana – melakukan pembungkaman hak-hak dasar rakyat. Aneh bin ajaibnya, sebagian besar elemen parlemen yang muslim dan nasionalis, tapi tetap dipaksakan untuk menyetujui RUU yang sarat dengan nuansa anti ideologi negara (Pancasila) dan Islam.

Menelisik Akar Persekongkolan itu: Catatan Kausalitas

Tak akan pernah terjadi persekongkolan sejumlah aktor negara jika hanya terjadi pemaksaan satu pihak. Dalam hal ini kita bisa menbaca faktor muasal terjadinya persekongkolan kebijakan itu. Jika kita telusuri, hal itu merupakan dampak sistem politik yang berbiaya tinggi.

Seperti kita ketahui, sistem politik yang sangat liberal ini bukan hanya mengantarkan sistem demokrasi yang sangat kebablasan, tapi berdampak pada tingkat kompetisi yang sangat vulgar. Dan untuk memenangkan kompetisi itu tidaklah cukup dengan andalan kompetensi, integritas dan moralitas sang tokoh, tapi haruslah dengan dukungan finansial yang kuat. Bahkan, peran finansial yang kuat mampu mengalahkan kualitas kandidat politisi yang terkenal mumpuni, berkarakter dan berintegritas. Inilah – yang menurut penelitian di Australia belum lama ini – berkesimpulan bahwa perhelatan pemilu di Indonesia termahal di dunia. Ongkos mahalnya bukan pada konsekuensi biaya penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu), tapi pragmatisme publik yang berprinsip “wani piro” (ada uang, ada suara).

Dalam kaitan pemilu legislatif yang bersifat terbuka, kompetisi antar kandidat dalam internal partai apalagi antar partai, mendorong terciptanya kondisi persaingan sempurna. Penentu utama kemenangan adalah masalah al-fulus.

Pendulumnya adalah – di satu sisi – antar-kandidat dan antar-partai – harus menggapai suara sebagai pemenang. Kompetisi vulgar ini – sisi lain – dijadikan aji mumpung (carpedium: Bahasa Latin) oleh para konstituen. Publik terdorong – atas nama pesta demokrasi – mengedepankan sikap pragmatis: wani piro itu, tanpa menghitung risiko politik setelah perhelatan. Di mata publik, uang recehan saat pesta dinilai jauh lebih riil dibanding komitmen programic. Inilah biaya yang memaksa siapapun yang ingin maju dalam kontestasi pemilu harus sediakan dana taktis yang tidak sedikit nilainya. Memang, ada yang berhasil tanpa dana yang signifikan, tapi dapat dihitung dengan jari. Dengan kata lain, standar umum yang berlaku adalah politik berbiaya tinggi dan karenanya harus siap manakala ingin maju dalam kontestasi itu.

Laman sebelumnya 1 2 3 4 5 6 7 8 9Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button