OPINI

Indonesia dalam Cengkeraman Oligarki Politik

Koreksi Keprihatinan

Perselingkuhan legislatif-eksekutif yang diback up sejumlah kekuatan dari elemen strategis menggerakkan keprihatinan nasional yang masih memiliki nurani kebangsaan-kenegaraan. Karenanya, koreksi sistem katatanegaraan menjadi kebutuhan mendesak. Langkah solusi efektifnya diawali dari rotasi kepemimpian yang berkarakter, mumpuni, berjatidiri dan ber-NKRI sejati.

Meminjam falsafah “emanase” (pancaran cahaya yang bisa menyinari siapapun yang di bawahnya), maka perbaikan pada sisi kepala sebagai pusat kendali aksi akan berpengaruh besar untuk memperbaiki kondisi rakyatnya. Dalam kaitan ini, agenda rotasi kekuasaan (mencari sosok pemimpin yang credible, capable dan berjiwa nasionalis sejati) menjadi kerangka solusi yang sangat mendasar dan prospektif untuk merestorasi kondisi yang sudah amburadul. Inilah sosok pemimpin yang didambakan karena akan mewarnai sistem ketatanegaraan yang berpihak pada kepentingan negara dan bangsa. Tapi, upaya rekonstruksi di negeri ini dan saat ini, menghadapi kendala yang sangat mendasar. Dalam hal ini ada beberapa yang harus diubah secara radikal (mendasar).

Pertama, konstitusi kita saat ini Pasal 6A Ayat 2 UUD NRI 1945 membatasi kebebasan setiap warga negara untuk dipilih. Menurut ketentuan ini, hanya partai politik dan atau gabungan partai politik yang bisa diusung untuk calon presiden. Seperti ada pembagian kelas dalam warga negara di negeri ini. Warga negara yang non-parpol dari entitas apapun seperti digolongkan kelas dua atau komplemen demokrasi. Sekadar sebagai pemilih atau pemberi suara. Perlu kita garis-bawahi, dalam prinsip demokrasi, pembagian kelas antar warga negara jelas melanggar hak asasi manusia (HAM). Karenanya, ketentuan itu tidak adil. Melanggar konstitusi. Bahkan, bisa disebut tindakan pembajakan demokrasi.

Atas nama kualitas demokrasi, parpol harusnya memberi ruang lebih luas pada proses politik demokratik. Parpol atau gabungan parpol silakan mengajukan pasangan capres-cawapres. Tapi, kandidat non-parpol juga perlu diberi ruang sebagai calon perseorangan atau independen, atau atas nama apapun, termasuk kelembagaan nonparpol. Ketika pemilihan kepala daerah (provinsi, kabupaten/kota) diberi ruang untuk calon nonparpol, mengapa untuk posisi kepresidenan tidak diberi ruang yang sama? Jelas, itu tidak konsisten dengan prinsip demokrasi. Tidak fair dari sisi artikulasi Hak Asasi Manusia (HAM).

Karena itulah dapat dipahami ketika publik menghendaki amandemen Pasal 6A Ayat 2 UUD 1945 itu. Tapi, teriakan publik sangat asasi ini tidaklah berarti, karena proses politiknya ada di parlemen (MPR). Suara lantang di luar parlemen hanya kekuatan moral, yang belum tentu menggugah nurani para wakil rakyat di MPR. Jika kita telisik komposisi kekuatan di MPR, kita dapatkan data komposisi kekuatan pro dan kontra amandemen. Mengacu Pasal 37 UUD NRI 1945 sebagai syarat sah mengajukan amandemen, minimal 1/3 dari 711 anggota MPR (575 aggota DPR RI dan 136 anggota DPD RI) atau 237 anggota yang harus menyetujui usulan.

Seperti kita ketahui bersama, sebanyak 575 anggota MPR dari unsur partai politik. Maka, jumlah parpol itu sudah menjadi kendali akan disahkan atau tidaknya usulan amandemen. Sementara, dinamika politik yang berkembang di MPR, hanya fraksi dari Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera yang merespons positif atas gagasan atau keinginan membangun sistem demokrasi yang lebih berkualitas melalui amandemen Pasal 6A Ayat 2 UUD 1945 itu. Sementara kedua fraksi itu hanya berjumlah 101 kursi. Jika ditambahkan komponen DPD RI yang hanya berjumlah 136 orang, maka total jumlah yang pro amandemen tersebut hanyalah 237 orang, kalah jauh dengan kekuatan parpol penolak amandemen Pasal 6A Ayat 2 itu.

Menghitung komposisi kekuatan riil di MPR, maka DPD RI yang tergerak untuk melakukan amandemen tampak surut. Sejumlah diplomasi politiknya untuk membangun pengertian para elitis partai politik dalam kerangka meningkatkan kualitas demokrasi hanya dijawab politik “blankon”. Senyum manis di depan, tapi dongkol di belakang. Dan kini kian terbuka sikap politik para elitis partai politik: menolak amandemen Pasal 6A Ayat 2 UUD 1945 itu. Karena itu, kini para penggerak demokrasi yang berkualitas mengambil opsi yang lebih riil, yaitu menguji materi Pasal 222 UU No. 7 Tahun 2017 tentang pemilu.

Presidential Threshold: Destruksi Demokrasi Indonesia

Ambang batas kepresidenan (presidential threshold) 20% bagi partai politik (parpol) pemilik kursi DPR RI atau 25% suara hasil pemilihan legislatif secara nasional disadari menjadi persoalan mendasar, sekaligus menjadi pintu mekanisme pembenahan demokrasi Indonesia. Karena itu kian disorot berbagai elemen elitis. Bahkan, kian banyak pula yang menggugat ke MK. Pasalnya, ketentuan ini mengharuskan parpol atau gabungan parpol untuk bisa pengusung calon pasangan presiden.

Laman sebelumnya 1 2 3 4 5 6 7 8 9Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button