OPINI

Indonesia dalam Cengkeraman Oligarki Politik

Biaya politik yang super tinggi juga terjadi pada perhelatan pemilihan kepala daerah (bupati/walikota dan gubernur). Semakin tinggi lagi biayanya untuk kandidat presiden. Dalam hal ini, irama politik yang tengah berjalan adalah keharusan tak tertulis dimana kandidat – jika maju dari unsur partai – ia harus membeli partai untuk mendapatkan rekomendasi dan dukungan. Angkanya bukan lagi puluhan bahkan ratusan juta, tapi angka miliaran. “Mahar” politik ini merupakan konsekuensi dari jabaran aturan Pasal 222 UU No. 7 Tahun 2017 tentang pemilu yang menyaratkan 20% bagi kandidat yang ingin maju dalam kontestasi melalui partai pemilik kursi DPR. Atau, ketentuan 25% suara nonseat.

Jika tidak melalui partai, maka kandidat independen – hanya berlaku khusus untuk pilkada – harus menunjukkan prasyarat 15% suara dukungan yang dibuktikan dengan foto KTP riil sebelum mengikuti kompetisi. Prasyarat ini pun sangat berdampak pada biaya tinggi, karena foto KTP perlembar tidak lagi berbiaya sekitar Rp 100 atau 150,- tapi bisa membengkap menjadi Rp5.000 per fotocopy KTP, bahkan bisa jauh lebih tinggi. Biaya fotocopy KTP yang menaik tajam tak lepas dari sikap pragmatisme publik yang kini kian menguat. Maka, biaya untuk memenuhi prasyarat awal untuk bisa ikut kontestasi saja sudah harus keluarkan biaya milyaran. Belum dana konsekuensi logis untuk pemenangan.

Nilai mahar politik akan semakin menjulang jika hajatannya untuk posisi kepresidenan. Cenderung angka triliunan. Angka ini tak bisa dipungkiri sebagai total biaya untuk membeli kendaraan politik. Baru dalam tahapan prasyarat. Belum memasuki perang terbuka (kontestasi). Dengan prasyarat kemenangan minimal 50% +1, maka – jika mengacu data pemilu 2019 yang jumlah pemilihnya mencapai 158.012.506 orang – berarti harus menggapai minimal 79.006.254. Kita berasumsi, jika sebesar 50% saja dari jumlah pemilih itu didasarkan prinsip wani piro, katakanlah, Rp300.000,- maka kandidat harus keluarkan dana sebesar Rp11.850.938.100.000,-

Maka, total angka perhelatan pilpres di Tanah Air ini – selagi kondisi masyarakat masih terbatas secara ekonomi dan menjadikan pilpres sebagai ajang aji mumpung, juga ada krisis pragmatisme dalam diri para elitisnya – semua itu menjadikan biaya pilpres memang fantastik nilainya. Jika diperbandingkan dengan pilpres di sejumlah negara lain, memang pilpres di Indonesia irasional secara konsep dan teori, tapi faktual. Dalam hal ini Institut Otonomi Daerah – pada 2021 – merilis, calon presiden harus mempersiapkann dana antara Rp20 hingga Rp30 triliun untuk bisa memenangkan kontestasi.

Muncul renungan, siapa di antara kandidat yang memiliki kekuatan finansial sebesar itu? Ada, tapi hanya beberapa gelintir. Inilah yang mendorong masuknya kekuatan olirgarki cukong, secara individu apalagi konsorsium. Sekedar analisis sisipan, di antara penggarong BLBI, ada yang proaktif untuk bermain di pilpres Indonesia. Arahnya untuk kembali mengeruk kekayaan Indonesenia yang berlimpah ini, tapi aman secara hukum dan politik. Kini, kita mengenang dana BLBI yang tergarong itu. Jika kita menghitung total bunga dana BLBI yang berjumlah Rp630 triliun, maka – dengan tenor rata- rata 5% pertahun dan dihitung selama 20 tahun sejak penggarongan itu – terjadi penambahan akumulasi dana mencapai Rp630 triliun juga. Dua kali lipat dari dana BLBI yang tergarong itu. Sementara – mengutip keterangan Menko Polhukam, Machfud MD – dana BLBI yang dikembalikan kepada negara hanya Rp110,5 triliun. Hanya seperlima koma tujuh dari bunga, atau sepersebelas koma empat dari akumulasi total dana BLBI.

Kita berasumsi, jika di antara debitur BLBI mengalokasikan dananya separuh saja dari suku bunganya saja, maka terlihat angka Rp315 triliun. Sejalan dengan hakekat dananya dari suku bunga yang berkembang dari deposito hasil penjarahannya, maka sangatlah enteng bagi mereka untuk mengeluarkan dana taktis atas nama kesertaan pilpres di Tanah Air ini. Di sinilah, kemauan para Taipan (penggarong dana BLBI), akan menjumpai titik temu. Di satu sisi, sang kandidat yang terbatas amunisi finansialnya – secara proaktif – berusaha membangun komunike (pendekatan) untuk mendapatkan dukungan para cukong. Di sisi lain, para Taipan oligarkis juga menilai perhelatan pilpres merupakan pintu masuk untuk menancapkan kukunya kembali ke dalam medan kekuasaan Indonesia secara nasional.

Bagi para Taipan, ketergantungan para politisi terhadap funding itu memang yang dinanti. Bahkan – boleh jadi – merupakan sistem yang didesain secara terencana oleh kaum liberalis-kapitalis. Para Taipan mendompleng pada desain itu. Dalam perpektif okupasi suatu negara, nilai di bawah Rp50 triliun sangatlah “seupil”. Terlalu kecil jika dibandingkan dengan potensi ekonomi negeri ini yang tak terhitung nilainya. Sekalipun harus back up Rp1000 triliun, pun para Taipan akan meladeni. Sebab, potensi yang akan dikeruk di depan mata, tanpa perang fisik (agresi militer). Karena itu, para Taipan – secara konsorsium, bahkan dengan donasi pihak lain atas nama negara atau korporat – begitu all out untuk memenangkan salah satu kandidat presiden yang bersyarat satu: kandidat yang stupid, bukan nasionalis sejati dan berkarakter individualis: tak peduli kepentingan rakyat. Agar, pasca kemenangannya hanya dijadikan boneka. Presiden sesungguhnya adalah para bohir itu.

Fakta bicara, partisipasi pendanaan pada arena pilpres, bahkan kontestasi di pilkada membuat para pemenangnya terbelenggu kekuasaannya. Di satu sisi, mereka harus membayar kompensasinya dalam bentuk megaproyek pada berbagai sektor strategis negara, tanpa mempedulikan keamanan dan kedaulatan negara, apalagi hanya masalah marwah. Sang pemimpin boneka bukan hanya memprioritaskan kepentingan para bohir, tapi juga terpanggil untuk mengamankannya. Tidak hanya secara regulatif (kebijakan) tapi juga dukungan operasionalnya di lapangan dalam ranah hukum dan keamanan. Upaya pengamanan itu bukan hanya pasca terpilihnya, tapi saat kontestasi masih berlangsung. Dalam hal ini sudah berjalan upaya maksimal untuk mengamankan seluruh lini seperti institusi politik (lembaga KPU), institusi hukum (Mahkamah Konstitusi), institusi intelegen yang bermain di sektor data untuk siap dimanipulasi melalui tangan-tangan ahli IT. Bahkan, harus menyewa tim pengacara super mahal.

Seluruh rangkaian keterlibatan kaum oligarkis cukong itu membuat rezim langsung terkooptasi. Sementara, di wilayah parlemen – karena tak sedikit yang mendapatkan back up secara finansial dari para komparodor cukong – juga akhirnya harus bekerja dengan garis politik selalu sejalan dengan kepentingan kaum cukong. Di samping itu, memang kaum cukong itu sendiri banyak yang berhasil memasuki laga parlemen. Inilah yang membuat suasana gedung parlemen kini sejatinya dikuasai kalangan cukong.

Maka, mana mungkinkah kepentingan rakyat mendapat prioritas? No way. Sebagai karakter pebisnis, mereka non-sense bicara kepedulian rakyat selagi berlawanan dengan kepentingan dirinya. Karenanya, kepentingan rakyat akan selalu tereduksi. Teriakan rakyat tentang tuntutan keadilan dinilai sabagai penggangu dan karenanya dikejar secara hukum. Atau, dicari pasal untuk menjeratnya. Terjadilah kriminalisasi, persekusi dan sejumlah aksi teror yang merampas hak-hak dasar kemanusiaan.

Laman sebelumnya 1 2 3 4 5 6 7 8 9Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button