OPINI

Indonesia dalam Cengkeraman Oligarki Politik

Perlu disadari bersama, politik transaksional menjadi ancaman ke depan bangsa terhadap demokrasi. Rakyat hanya dijadikan alat untuk mengejar kepentingan oligarki semata dengan politik transaksional. Inilah masalah utama demokrasi Indonesia yang biaya politiknya sangat mahal. Menyebabkan banyak orang yang berkompeten tidak dapat mengikuti pemilu, baik di tingkat legislatif maupun eksekutif. Hal ini tentu menjadi permasalahan bersama dari waktu ke waktu setiap kali pemilu dijalankan.

Dalam kaitan itu, The Economic Intelligence Unit (EIU) tahun 2020 lalu, menyebut Indonesia mengalami kemerosotan indeks demokrasi dengan memperoleh nilai 6,3 dan menempati peringkat 64 di dunia sehingga dikategorikan sebagai demokrasi cacat (flawed democracy). Dan degradasi kualitas demokrasi Indonesia ini merupakan limbah politik oligarkis. Robertus Robert menulis, para oligark tidak hanya bermain di belakang para politisi dan elite rezim demokratis melainkan secara langsung memimpin partai, membentuk koalisi pemerintahan, memobilisasi opini publik melalui bisnis media mereka dan menentukan jabatan-jabatan publik baik di pusat maupun lokal. Di tangan mereka, negara sudah seperti cabang bisnis bagi elite kekuasaan untuk kepentingan bisnis mereka (Abdil Mughis Mudhofir dkk, Oligarki: Teori dan Kritik, 2020:181-182).

Bangsa ini harus mampu keluar dari kekuatan oligarki, di samping harus melakukan koreksi mendasar atas sistem demokrasi. Tidak dapat dinafikan, selama ini demokrasi pasca-reformasi cenderung terlalu berlebihan melembagakan demokrasi prosedural. Demokrasi yang lekas puas diri apabila pemilu sudah diselenggarakan dan lembaga demokrasi seperti Mahkamah Konstitusi dan parlemen terbentuk. Kiranya, tidaklah berlebihan jika berpendapat, demokrasi saat ini harus didesak ke arah substansial dimana warga harus dibangun kesadaran kritisnya. Dengan daya kritis ini warga mampu memberdayakan dirinya untuk tidak mudah tergiur praktik- praktik pengkhianatan demokrasi, semisal politik uang.

Demikian pula perlu dipikirkan agar biaya politik dapat ditekan. Sistem kepartaian disederhanakan. Negara menanggung biaya kepartaian. Dengan begitu, para kader partai tidak perlu lagi memikirkan dana untuk disisihkan pada partai. Termasuk segala tetek bengek terkait biaya pencalonan dirinya ketika hendak mengisi jabatan publik. Kader partai cukup fokus mengkontestasikan gagasan, pemikiran, dan integritasnya untuk dapat diwakafkan di arena politik. Dengan begitu, politik bisa kembali pada hakikat maknanya sebagai upaya mengelola negara untuk mencapaikan kebaikan bersama. Bukan kebaikan segelintir atau sebatas kerabat.

Akhirul kalam, tidaklah berlebihan jika bangsa ini menilai, demokrasi yang berkembang saat ini di Tanah Air ini hanyalah mengantarkan kita pada kekuasaan oligarki. Kita saksikan ancaman oligarki. Apabila masuk ke dalam proses politik, para oligarkis berusaha menghilangkan hak partisipasi warga negara. Setelah masuk dalam hasil proses politik, para oligarkis sangat berpengaruh kontraktif terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat di masa mendatang. Artinya, akan berdampak bagi pemenuhan hak asasi manusia. Inilah malapetaka bangsa dan negara tercinta ini.

Untuk itu sungguh menarik dan sangatlah relevan ketika banyak elemen memperjuangkan 0% terkait presidential threshold, terkait pilpres atau pilkada. Untuk menghadirkan pemimpin terbaik bangsa, meski ia terbatas secara finansial, tapi sangat siap membawa negeri ini keluar dari berbagai jebakan politik dan ekonomi, yang akhirnya menjadi penderitaan nasional. Namun, jika tetap mempertahankan PT 20% maka negeri dan bangsa ini senantiasa diperhadapkan tatanan kenegaraan yang semakin hancur akibat makin mencengkeramnya kekuatan oligarki politik. Dampak lainnya juga terjadi makin tak terkendalinya “makhluk” korupsi dan makin tak pedulinya partai-partai politik terhadap kepentingan rakyat. Ada hipokrasi partai politik pada sistem demokrasi. Dan the last but not least, bangsa ini haruslah bersiap berubah: tidak lagi INDONESIA yang berbendera Merah Putih. Wallahu a’lam bisshawab.

Bogor, 31 Desember 2021

Ahmad Muflih Saefuddin, Pembina Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (DDII).

Laman sebelumnya 1 2 3 4 5 6 7 8 9

Artikel Terkait

Back to top button