Intelektualitas Kampus Luntur, Islamofobia Muncul
Miris ketika membaca berita mengenai pembatalan sepihak oleh rektorat terhadap kuliah umum Ustaz Abdul Shomad di masjid UGM, yang rencananya dilaksanakan Sabtu, 12 Oktober 2019 (www.tirto.id, 9 Oktober 2019). Padahal pihak takmir sendiri menyatakan bahwa mereka sudah mematuhi semua persyaratan yang diajukan oleh pihak kampus, di antaranya tidak ada publikasi dan acaranya tidak memakai konsep tabligh akbar (www.republika.co.id, Kamis 10/10/2019).
Alasan yang diajukan oleh pihak kampus dalam menolak kehadiran Ustaz Abdul Shomad di antaranya adalah bahwa kampus harus menjaga keselarasan kegiatan akademik dengan kegiatan non akademik. Lantas pertanyaannya, bukankah kehadiran UAS dalam rangka untuk memberikan kuliah umum yang bersifat ilmiah? Apakah selama ini UAS dalam memberikan materi pengajian maupun tabligh akbarnya secara serampangan tanpa dasar ilmiah yang berasal dari dalil Alquran dan Hadits Nabi Saw?
Memang akan paradoks, ketika kita melihat kampus justru mengizinkan kegiatan yang tidak ilmiah. Ambil contoh di UIN Jakarta, pada semester ganjil 2017 mengadakan pagelaran musik musisi papan atas Indonesia (www.kompasiana.com, 5 Februari 2018). Dan sekarang ini pagelaran konser musik di kampus bukan hal yang tabu dilakukan. Di samping pertimbangan sebagai hiburan dari penatnya kuliah, juga ada unsur komersial pemasukan bagi kampus penyelenggara. Biasanya dengan cara menyewakan fasilitas gedung besar yang dimilikinya. Lalu, apakah pagelaran musik itu dipandang lebih selaras dengan budaya intelektual kampus dibandingkan dengan kegiatan kuliah dan diskusi ilmiah?
Di samping itu, alasan dibatalkannya kuliah UAS di UGM karena ada tekanan dari luar, seperti yang disampaikan pihak takmir dalam siaran pers yang diterima kiblat.net pada Kamis 10/10/2019 (www.news.visimuslim.org, 10 Oktober 2019). Siapakah pihak luar yang dimaksud? Siapapun itu tidak berhak untuk mengekang perkembangan dunia intelektual kampus. Kedewasaan intelektual kampus terwujud dengan adanya diskusi bukan dengan tekanan dan ancaman. Bahkan kalau perlu alangkah baiknya jika para calon pejabat publik bisa mengadakan forum ilmiah di kampus sehingga akademisi kampus bisa menguji kelayakan mereka dan programnya bagi kesejahteraan rakyat.
Yang lebih parah pihak UGM dalam hal ini berubah seolah menjadi rezim politik. Seharusnya sebagai pimpinan kampus lebih menyadari akan posisinya. Mereka yang semestinya memberikan ruang ilmiah yang seluas -luasnya pada mahasiswa. Mahasiswa bisa menggali lebih dalam ajaran Islam yang dipeluknya. Bukan justru mengebiri dengan kepongahan dan sok adikuasa di dunia pendidikan.
Adapun materi kuliah yang diberikan UAS adalah mengenai hubungan antara Islam dengan IPTEK sebagai pondasi kemajuan umat. Terus adakah yang salah?. Tentunya yang harus dipahami bahwa Islam tidak memiliki masalah dengan perkembangan teknologi. Hal ini berbeda dengan ajaran Nasrani. Di saat Gereja mengadopsi pandangan Geosentris dari Ptolomeus, maka tertutuplah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pandangan yang berbeda akan dipandang sebagai makar. Saat terjadi renaissance, perkembangan IPTEK mengalami kemajuan pesat. Heliosentris menggantikan Geosentris. Keadaan demikian mereka capai dengan sekulerisasi IPTEK dengan agama (Nasrani). Sedangkan Islam menganjurkan umatnya untuk mengembangkan IPTEK. Sebagai contoh firman Allah SWT yang berbunyi:
“Wahai semua golongan jin dan manusia, jika kalian sanggup untuk menembus penjuru langit dan bumi maka tembuslah. Kalian tidak akan bisa menembusnya kecuali dengan kekuatan.” (QS Ar Rahman ayat 33).
Kekuatan dalam ayat ini adalah ilmu pengetahuan dan teknologi. Artinya bahwa umat Islam harus mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dibutuhkan untuk bisa menjelajah luar angkasa dan menggali semua potensi kekayaan alam yang dikandung oleh bumi.
Di samping itu, Islam memberikan panduan agar kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi bisa bermanfaat, tidak merusak dan tetap bisa menjaga kemuliaan manusia. Sebagai contoh dalam hal penggunaan HP. Dengan memahami hukum Islam terkait pergaulan lawan jenis, maka penggunaan Hp akan terjaga dari perkataan dan perbuatan yang melanggar aturan agama seperti pacaran, kecabulan dan lainnya.
Dengan memahami hal demikian, diharapkan mahasiswa terbuka kerangka berpikirnya. Islam itu ajaran yang berkemajuan dan menghendaki kemaslahatan bagi kehidupan manusia. Mahasiswa tidak akan menjadi sosok yang takut dengan agamanya sendiri.
Keberadaan kampus mestinya menjadi sarana memfilter berbagai macam wacana dan propaganda di luar kampus yakni di masyarakat, bangsa dan negara. Alasannya tentunya mahasiswa itu merupakan agen perubahan sosial, penyambung lidah masyarakat dan pemimpin masa depan. Layaknya sebuah kampus bisa mewadahi diskusi mengenai persoalan -persoalan ekonomi, politik pemerintahan, dan lainnya. Walhasil gerak mahasiswa mempunyai arah dan dasar ilmiah dalam melakukan koreksi kepada kekuasaan.
Dan tentu saja bagi seorang mahasiswa muslim, Islamlah yang akan menjadi spirit dan tujuan dari perjuangannya. Terlebih melalui mereka nantinya yang akan bisa mendobrak dan mengikis Islamofobia dari dunia intelektual di kampus.
Ainul Mizan
Guru, Penulis tinggal di Malang