Islam, Seksualitas dan Kaum Liberal
Menjadikan milkul yamin sebagai pembenaran seks luar nikah jelas sesat dan menyesatkan. Memperluas makna milkul yamin kepada selain budak rampasan perang adalah pembodohan sekaligus kejahilan yang berlipat ganda (murakkab). Tesis utama Syahrur, al-Qur’an turun sebagai pedoman untuk semua manusia dan sepanjang masa, karena itu harus bisa disesuaikan dengan cara hidup apapun dan dimanapun. Maka al-Qur’an harus sesuai, disesuaikan dan dipaksa sesuai.
Dalam kasus ini, karena seks diluar nikah sudah lumrah di banyak tempat, maka Al-Qur’an harus menyesuaikan diri. Inilah yang mereka sebut, Islam itu rahmatan lil-‘alamin, sehingga kerusakan moral pun hendak dibenarkan dengan dalih syariat Islam cocok untuk segala kondisi dan tempat. Bedanya, jika Islam menghendaki aturannya diterapkan tanpa merubah substansi dan bentuk hukuman, maka kaum liberalis munafikin menginginkan syariat Islam tunduk kepada dinamika sejarah dan budaya manusia.
Yang pertama menyatakan bahwa syariat Islam ini otentik, sempurna dan sudah final, maka yang diperlukan adalah langkah-langkah devolutif. Sementara yang kedua menyatakan bahwa syariat Islam ini masih jauh dari final dan sempurna, karena harus terus menyesuaikan diri dengan dinamika sejarah dan sosial budaya manusia, sehingga bersifat evolutif. Itulah jenis Islam baru yang dipropagandakan kaum liberal model Muhammad Syahrur.
Hermeneutika al-Quran Syahrur terlihat dominan menggunakan teori hermeneutika Paul Ricoeur (w. 2005), yakni dekontekstualisasi ketika materi teks berlepas dari cakrawala intensi yang terbatas dari pengarangnya, serta membuka teks dibaca secara luas dengan pembaca beragam atau rekontekstualisasi. Ini artinya Syahrur anti otoritas keilmuan, sehingga sesuatu yang qath’i (pasti) bisa jadi zhanni (asumtif) dan begitu sebaliknya. (baca artikel “Otoritas Keagamaan”, dalam buku Islam dan Diabolisme Intelektual karya Dr. Syamsudin Arif, hlm. 34-40)
Dari hasil buah pikirannya Syahrur jelas bukan ulama otoritatif, dia hanya seorang pembaca yang keluar dari framework dan worldview Islam, serta terpengaruh atau bahkan ‘mengimani’ framework dan worldview Barat. Contohnya: a) Berpandangan bahwa meski al-Qur’an adalah wahyu & mukzijat, namun sejatinya manusia itu sendiri yang membuat mukjizat melalui kedinamisan penafsiran; b) al-Qur’an itu makhluk, bukan kalam Allah; c) lafadz al-Qur’an tidak memiliki sinonim (muradif); d) as-Sunnah katanya bukan wahyu; e) manusia zaman modern lebih matang dalam membuat hukum ketimbang para Nabi; f) Islam itu katanya mendahului Iman, sehingga bisa saja ada Muslim Kristen, Muslim Yahudi dll, jelas pandangan pluralisme Barat dia gunakan; g) penggalian hukum Islam mesti disesuaikan dengan realitas masa kini, artinya hukum Islam mesti tunduk pada realitas, dan bukan sebaliknya realitas tunduk pada hukum Islam.
Tidak mengejutkan, ketika hubungan seksual non-marital (kumpul kebo) dilegalkan Syahrur, sebab ini bukan berdasarkan dalil, namun karena pasrah pada kenyataan seksualitas yang banal di Barat, karena dia terpapar HAM Barat yang permisif sekaligus primitif. Sungguh ironis, padahal dalam hukum Islam dasar keharaman zina sudah jelas.
Adapun pemberian batasan atau limit bagi kategori kegiatan seks itu zina atau bukan, sebagaimana yang dinyatakan Azis, “Ada berbagai batasan atau larangan dalam hubungan seks nonmarital yaitu dengan yang memiliki hubungan darah, pesta seks, mempertontonkan kegiatan seks di depan umum, dan homoseksual,” maka itu tidak merubah sama sekali posisi dasar hukum zina (hubungan seks diluar nikah) yang diharamkan dalam Islam dengan hukuman badan yang keras, yaitu 100 kali cambuk bagi lajang (Q.s. 24:2) atau rajam sampai mati bagi yang sudah menikah (Hr. Muttafaq ‘alaih). Karena jika batasan atau larangan versi Azis itupun dilanggar, maka hukumannya semakin berat dari hukum asal perzinahan.
Peran Ulama
Inilah bahayanya jika umat Islam dan para ulama kendor dalam menjalankan fungsi amar makruf nahi munkar dalam bidang akademik. Dengan dalih kebebasan ilmiah, seseorang bisa dengan mudah mengotak-atik dan membongkar syariat Islam semaunya, lalu mendakwa dirinya sebagai pembaharu. Na’udzu billah.
Sudah saatnya para Ulama lintas ormas Islam dan Majelis Ulama Indonesia turun tangan menindaklanjuti fatwa haram liberalisme, sekularisme dan pluralisme agama yang telah disahkan pada Munas MUI tahun 2005 silam. Sudah 14 tahun fatwa itu keluar, entah kini bagaimana nasibnya? Apakah umat Islam dan para ulama masih peduli terhadap keberlangsungan dan tindak lanjut fatwa itu dalam kondisi kita yang seperti ini? Semoga harapan itu masih ada. Wallahu a’lam bil-shawab.
Jakarta, 3 Muharram 1441 H
Fahmi Salim
Wakil Ketua Komisi Dakwah MUI Pusat & Majelis Tabligh PP Muhammadiyah