OPINI

Islam, Seksualitas dan Kaum Liberal

Diabolisme Intelektual dari Rahim UIN

Di penghujung tahun 1440 Hijriah, saat kaum muslimin bersuka cita menyambut tahun baru 1441 Hijriah, muncul pemikiran sesat yang menyatakan bahwa hubungan seks non-marital dengan pendekatan konsep milkul yamin dibolehkan secara syariah. Pemikiran yang semula digagas oleh Muhammad Syahrur, dari Suriah itu, telah mengundang polemik dan penolakan karena oleh Abdul Aziz dijadikan disertasi, di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

“Penelitian ini berkesimpulan bahwa konsep milk al yamin Muhammad Syahrur merupakan sebuah teori baru yang dapat dijadikan sebagai justifikiasi terhadap keabsahan hubungan seksual nonmarital. Dengan teori ini, maka hubungan seksual nonmarital adalah sah menurut syariah sebagaimana sahnya hubungan seksual marital. Dengan demikian, konsep ini menawarkan akses hubungan seksual yang lebih luas dibanding konsep milk al yamin tradisionalis.”

Itulah kesimpulan disertasi yang berjudul, “Konsep Milk Al Yamin Muhammad Syahrur sebagai Keabasahan Hubungan Seksual non Marital”. Ditulis oleh Abdul Aziz, mahasiswa program doktor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Sayangnya pihak UIN Jogja, kemudian meloloskan desertasi itu dan memberikan gelar doktor kepada Abdul Azis. Seharusnya para pembimbing dan penguji dapat mengarahkan desertasi Abdul Azis sebagai antitesa, bukan sebaliknya malah melegitimasi dan menjustifikasi (tabriri) pemikiran Muhammad Syahrur, yang sangat jelas kesesatannya.

Al-Qur’an menyebut frasa milkul yamin dalam pengertian kepemilikan tangan kanan, hamba sahaya atau budak, sebanyak 15 kali. Dalam konteks ayat melekat perintah berlaku adil dalam perkawinan (QS. 4:3, 24, 25, 36, dan QS. 24:33, QS. 33:50, 52), pembagian rizki yang sebanding (QS. 16:71, QS 30:28), dan menjaga aurat dari pandangan mereka, bahkan melarang budak memasuki kamar pada tiga waktu yang ditetapkan (QS. 24:31, 58, QS. 33:55).

Sedangkan ayat yang selalu dikutip, QS 23:6, baik oleh Syahrur maupun Azis, hanya dipahami sebagai budak yang terikat haknya secara fisik, termasuk dalam hal hubungan seksual. Dan lebih sempit lagi definisi itu hanya berlaku pada budak perempuan.

Dalam al-Qur’an memang terdapat ayat yang membolehkan seorang laki-laki menggauli budak perempuannya. Tanpa akad nikah. Seperti pada surat al-Ahzab: 50, an-Nur: 31 dan al-Mukminun: 5-6, “Dan orang yang memelihara kemaluannya. Kecuali terhadap istri-istri mereka atau hamba sahaya yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka tidak tercela.” (Q.s. 23:5-6)

Hari ini tidak ada lagi perbudakan. Karena itu kemudian Syahrur menganalogikan kebolehan menggauli budak ini dengan jenis hubungan seksual yang tidak normal lainnya. Seperti nikah mut’ah, nikah muhalil, nikah misyar (kawin kontrak) bahkan samen leven (kumpul kebo). Karena hari ini tidak ada lagi budak, maka seorang laki-laki boleh menggauli perempuan bukan budak tanpa menikah. Cukup dengan kesepakatan kedua belah pihak. Dengan demikian kumpul kebopun sah secara syariah.

Itulah jurus akrobatik Muhammad Syahrur yang diamini Abdul Aziz. Tanpa kritik yang berarti. Bahkan si penulis disertasi menyayangkan Syahrur yang hanya membuka pintu seks bebas dengan kedok milkul yamin hanya untuk laki-laki. Ia menyatakan, “Namun, ditinjau dari perspektif emansipatoris, ekstensitas akses seksual dalam konsep ini masih tampak timpang, karena hanya dapat dinikmati oleh laki-laki sementara bagi perempan cenderung stagnan”. Inna lillahi wal ‘iyadzu billah.

Laman sebelumnya 1 2 3 4Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button