Jokowi dan Nasionalis (Kiri) Berkuasa, Sudah Selayaknyakah Dijatuhkan?
Soekarno semasa perjuangan revolusi Indonesia memasuki abad ke-20 dengan cara Demokrasi Terpimpin mengayuh bahtera negara Indonesia, di sayap layarnya di —Kiri ada kelompok minoritas komunis, di —Kanan ada kelompok mayoritas Islam.
Meskipun kelompok masyarakat komunis itu minoritas, secara agregasi politik dengan pelbagai cara “keras” dan “anarkis” pemberontakannya ingin menguasai langsung di panggung singgasana kepemimpinan politik nasional. Sebaliknya, kelompok Islam yang mayoritas melakukan pemberontakan politiknya justru dengan cara segregasi politik ingin mewujudkan kepemimpinan-kepemimpinan lokal di daerah-daerah, seperti terjadi di Aceh dipimpin Daoed Beureuh atau pemberontakan Permesta-PRRI di Sulawesi dan Sumatera Tengah. Atau pemberontakan DI-TII Kartosuwiryo di Jawa Barat dan Jawa Tengah serta DI-TII Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan.
Tetapi, keniscayaan sejarah politik Indonesia yang terjadi dan nyata secara menyeluruh untuk perjuangan revolusi dan membangun bangsa, kemudian: dengan Pancasila beserta landasan hukum negara UUD 1945, adalah jalan tengah—The A Way Central, yang menjadi sejarah monumental hasil kesepakatan demokratis bangsa yang sangat atraktif dan ekstraktif revolusioner setelah merdeka melawan kolonialisme penjajah, yang kemudian melahirkan masyarakat etisme, intelektualisme terpelajar, yaitu yang disebut kelompok nasionalis.
Itulah secara hukum ketatanegaraan yang diracik oleh Soekarno sebagai The Founding Father, ketika merancang ideologi NASAKOM.
Maka, setelah itu tataran demokrasi kepemimpinan politik nasional dikayuh ibarat dua pijakan kaki dari rantai kayuh sepeda, akan selalu ada 2 (dua) beban politik di sayapnya antara kelompok Nasionalis —Kiri dan atau Nasionalis —Kanan. Itu pula metamorfosis demokrasi politik Indonesia bisa ditakar melalui ayunan ”garis keseimbangan” dari sebuah bejana kepemimpinan politik nasional yang dewasa ini menuju 2024 akan memasuki masa periode kepemimpinan politik nasional ke-8.
Soekarno masa kepemimpinan periode ke-1 dengan Demokrasi Terpimpin yang mampu merangkul semua kekuatan kelompok, setelah memimpin 20 tahun ditumbangkan justru dikarenakan PKI yang diemban dan dirangkulnya berkhianat. Soeharto juga dengan Demokrasi Terpimpin masa kepemimpinan ke-2 memasuki fase disebut Orde Baru pembangunan setelah berkuasa 32 tahun sebagai kekuasaan paling terpanjang di sepanjang sejarah yang cenderung mengarah Nasionalis —Kanan bisa ditumbangkan juga oleh inisiator mahasiswa menggerakkan “People Power” yang kemudian Indonesia memasuki era baru Orde Reformasi.
BJ Habibie yang semula Wapres menggantikan Soeharto sebagai Presiden masa kepemimpinan ke-3 yang masih cenderung mengarah ke Nasionalis —Kanan hanya singkat dua tahun juga tidak melanjutkan dikarenakan lepasnya provinsi Timor Timur. Juga Gus Dur mewakili masa kepemimpinan ke-4 yang justru murni dari sayap Kanan —Nasionalis harus turun tahta pula dikarenakan lebih kepada “performance” pribadi: ketimbang hanya sekadar kasus Bulog Gate yang membuat mosi tidak percaya DPR mengantarkannya ke Sidang Istimewa MPR melakukan impeachment.
Setelah itu, ketika Megawati Soekarnoputri menggantikannya juga hanya singkat tiga tahun menjadi Presiden sebagai masa ke-5 yang representatif mengarah ke Nasionalis —Kiri dikarenakan banyak asset negara dijual akibat dampak krisis moneter saat itu tidak terpilih kembali dan Pilpres dimenangkan oleh SBY yang merepresentasikan kembali Kelompok Nasionalis —Kanan memimpin penuh selama satu dasawarsa sebagaimana ketentuan konstitusi UUD 1945 yang telah diamandemen sebelumnya, menghapus kekuasaan Presiden tidak dibatasi kurun waktu.
Jokowi Pantaskah Dijatuhkan?
Dari ketujuh masa demokrasi kepemimpinan nasional tersebut, hanya pernah sekali masa kepemimpinan Soekarno semua dirangkul, empat kali periode masa kepemimpinan dimenangkan dan diwakili Nasionalis —Kanan. Hanya sekali diwakili kelompok Nasional —Kiri itupun cukup singkat. Tetapi, banyak pengamat politik nasional dan intetnasional berujar ketika masa kekuasaan Jokowi ke-7, jelas merepresentasikan ketika Nasionalis —Kiri ketika Jokowi berkuasa justru mengalami kenyataan demokrasi politik paling terburuk, begitu carut-marutnya kondisi negara, bahkan memiliki daya dobrak merusak bangsa begitu tingginya.