SUARA PEMBACA

Kasus Novel, Potret Rusaknya Neraca Keadilan

Kedua, tukang tera yang tak profesional. Jika profesional, tentu bisa menjalankan tugasnya dengan sebaik-baiknya. Faktor tekanan hidup dan lemahnya iman bisa membuat para penegak keadilan menjadi pincang.

Ketiga, meja pengadilan yang tergadai. Terkadang banyak kepentingan yang mempengaruhi ketukan palu hakim. Rakyat diwakili oleh Walhi seringkali kalah di persidangan gugatan kerusakan lingkungan oleh pengusaha tambang. HTI juga merasakan kekalahan sidang atas pencabutan BHP tanpa legal standing. Dan masih banyak kasus lainnya.

Ketiga faktor di atas bermuara dari sistem yang rusak. Yaitu sistem kapitalisme yang berasas sekularisme, memisahkan antara agama dan kehidupan. Manusia berhak membuat aturan dan hukum dalam kehidupan. Sementara, keterbatasan akalnya membuat hukum yang dibuatnya bersifat labil dan tidak bebas kepentingan. Sehingga lahirlah peraturan yang tak memuaskan rasa keadilan.

Sistem ini juga melahirkan manusia yang orientasi hidupnya mencari materi. Pemburu kenikmatan dunia dengan menghalalkan apapun. Termasuk ketika menjadi penguasa dan penegak keadilan. Maka jadilah hukum bisa ditawar dan ditarik ulur sesuai kepentingan penguasa tiran. Demi melanggengkan kekuasaan dan menjaga simbiosis mutualisme dengan kapitalis, hukum pun bisa dibeli. Hal ini jelas akan mencerabut rasa keadilan.

Satu-satunya sistem hukum yang membebaskan manusia dari kepentingan pribadinya hanyalah sistem Islam. Bersumber dari Allah Swt. Sang Maha Pencipta dan Pengatur manusia serta alam semesta. Jelas takkan memberi celah bagi manusia untuk mengutak-atik hukumnya.

Perintah untuk bermukim hanya pada hukum Allah, diiringi dengan balasan surga bagi yang menyadarinya dan ancaman azab neraka bagi yang menyelisihinya. Bukan hanya itu, setiap manusia juga diperintahkan berbuat adil, karena adil merupakan ciri orang bertakwa. Apatah lagi jika dia seorang pemimpin dan qadhi/hakim.

Islam memiliki seperangkat sistem sanksi yang memuaskan rasa keadilan. Salah satunya adalah hukum qishas. Dengan qishas, pelaku kriminal akan merasakan akibat yang sama dengan korban kriminalitas yang mereka lakukan. Misalkan menyiram air keras, maka akan diberi sanksi disiram air keras juga. Ini jauh memuaskan rasa keadilan.

Kasus Novel semestinya bisa membuka mata kita untuk kembali berhukum pada sistem Islam kaffah. Sistem yang mendapat jaminan berkah dari Allah Swt. dan mampu menciptakan rasa keadilan di tengah masyarakat. Serta mampu menjadikan neraca keadilan berfungsi dengan baik sebagaimana mestinya. Wallahu a’lam []

Mahrita Julia Hapsari, M.Pd
Praktisi Pendidikan

Laman sebelumnya 1 2

Artikel Terkait

Back to top button