SUARA PEMBACA

Kecanduan Impor

Sebagai negara agraris, Indonesia dulunya adalah negara eksportir. Kekayaan alam yang membentang membuatnya dijuluki zamrud khatulistiwa. Dikelilingi banyak gunung api aktif menjadikan tanahnya subur. Tanah surga katanya. Tongkah kayu dan batu jadi tanaman.

Penggalan lagu ‘kolam susu’ cukup menggambarkan hijaunya Indonesia. Sayang, tanah surga tak lagi menyejukkan. Kering kerontang diserang importir dari luar.

Beberapa hari lalu Presiden Jokowi sempat menyindir ibu-ibu yang doyan dengan barang impor. Menurutnya, hobi ibu-ibu yang demen fesyen impor menyebabkan neraca perdagangan mengalami defisit. “Kita kok senangnya impor impar impor impar, terutama ibu-ibu. Mereka senangnya kalau sudah pegang brand luar, senang banget, apa tas, sepatu, apa begitu,” ujar Jokowi saat membuka acara Hari Belanja Diskon Indonesia di Senayan City, Jakarta, Kamis (15/8). (Cnnindonesia.com, 16/8/2019).

Menarik apa yang disampaikan Presiden. Doyan impor atau kecanduan impor. Presiden mungkin lupa menyoroti aksi doyan impor ini juga dilakukan oleh kementerian-kementerian di masa pemerintahannya. Diantaranya adalah Menteri Perdagangan. Impor beras menjadi salah satu komoditi yang paling banyak dikritik. Dari tahun 2015 hingga 2018, impor beras melonjak naik sebesar 160 persen atau 2,5 kali lipat. Bahkan terjadi cekcok antar lembaga terkait. Kemenpan pun heran di saat produksi beras dalam negeri mencukupi, Mendag malah impor. Saking surplusnya beras, penyimpanan di Bulog tak muat dan pada akhirnya ditemukan 1.000 ton lebih beras membusuk.

Selain beras, komoditi lain yang terkena imbas kecanduan impor adalah bawang putih. Menteri perdagangan, Enggartiasto Lukita mengatakan, “Kebutuhan bawang putih kita per tahun sebenarnya sekitar 490 ribu ton. Pada 2018 terbit RPIH total 938 ribu ton. Dari jumlah itu dikeluarkan Surat Persetujuan Impor (SPI) dari Kemendag 600 ribu ton. Mengapa lebih? Untuk cadangan awal tahun 2019,” katanya. (Liputan6.com, 12/8/2019).

Seakan tak cukup dengan itu, kali ini Indonesia harus menerima ‘goyangan samba’ daging ayam dan sapi dari Brazil. Sebanyak 50.000 ton daging sapi Brazil sudah masuk Indonesia. Peternak merasa dirugikan. Peternakan unggas juga terancam dengan impor ayam Brazil. Impor ini dilakukan menyusul kekalahan Indonesia atas gugatan Brazil ke WTO. Karena terikat WTO, mau tidak mau Indonesia harus menerima kebijakan tersebut.

Kecanduan impor membuat Indonesia meriang. Apa yang tidak diimpor Indonesia? Tas, bahan pangan, alat berat, besi, baja, sampah bahkan rektor pun impor. Tak alergi sama sekali dengan barang dan bahan impor. Menjadi negara importir adalah satu ciri negara yang tidak mandiri. Jangankan bahan pangan, jarum penjepit hijab saja kita impor dari Cina. Benar-benar seperti candu. Tak heran bila negara asing sangat senang ekspor ke Indonesia. Laku keras. Laris manis. Apatah lagi bila negeri ini masih setia dengan sistem kapitalis liberalnya. Liberalisasi perdagangan dan ikatan kerjasama internasional membuat Indonesia tak berkutik. Tak kuasa melawan para korporasi yang menguasai modal.

Baiknya, Presiden tak perlu salahkan emak-emak yang demen barang impor. Karena penikmat impor itu juga berasal dari keluarganya, menteri-menterinya, dan sistem kenegaraan yang sedang dipimpinnya. Good governance yang dijadikan prinsip bernegara malah dijadikan dalih pembenaran atas kebijakan impor. Tata kelola pemerintahan yang baik itu akan nampak manakala rakyat hidup sejahtera. Tak pusing besok makan apa. Tak mumet dengan lapangan kerja. Tak terbebani dengan harga kebutuhan pokok. Tak gundah dengan biaya pendidikan yang kian mahal. Tak tersiksa denga jerat pajak yang memalak. Tak bingung kemana harus berobat dengan pelayanan baik dan murah.

Itulah good governance sesungguhnya. Sayangnya, good governance ala kapitalisme tidak demikian. Rakyat dipaksa hidup sendiri dan mandiri. Pemimpinnya malah sibuk bagi ‘kursi’. Pejabatnya tak tunjukkan empati. Mau sampai kapan terus begini? Kecanduan itu bikin sakit. Terlebih kecanduan impor. Bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu menyejahterakan rakyatnya. Berdikari di atas tanahnya. Tegas menolak segala bentuk penjajahan. Terbebas dari intervensi kepentingan. Semua itu hanya akan terwujud jika kita mau menerapkan sistem Islam sebagai jawaban atas semua persoalan. Wallahu a’lam.

Chusnatul Jannah
Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban

Artikel Terkait

Back to top button