LAPORAN KHUSUS

Kecurangan Pilpres 2019: Terstruktur, Sistematis, Masif dan Brutal?

Pemilihan umum serentak 17 April 2019 dinilai sebagai pemilu terburuk setelah reformasi. Kecurangan berlangsung secara terstruktur, sistemik dan massif. Bahkan brutal.

Masih ingat strategi Perang Total (Total War) dan istilah Perang Badar yang ramai pada masa kampanye Pilpres 2019 lalu?. Sekarang terbukti. Kekuatan petahana memang tiga kali lipat dibandingkan kekuatan penantang, mirip seperti Perang Badar. Itu kalau hanya dilihat dari laporan penerimaan dana tim kampanye kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU). Belum termasuk kekuatan sumber daya, akses, keamanan, dan lain-lain.

Kamis sore (02/05) BPN Prabowo-Sandi dan TKN Jokowi-Ma’ruf melaporkan keuangan mereka. Dari BPN, Cawapres Sandiaga Uno melaporkan langsung kepada KPU yang membuka posko pelaporan di Hotel Borobudur, Jakarta. Sebagai pasangan yang pertama kali datang, Sandi melaporkan dana yang masuk ke timnya senilai Rp213,2 miliar. Dari jumlah itu, Rp192,5 miliarnya adalah patungan antara Prabowo dan Sandi. Sisanya sumbangan dari kelompok, masyarakat dan partai politik.

Sementara TKN Jokowi-Ma’ruf, yang datang hampir terlambat, sekira 30 menit sebelum waktu pelaporan habis, melaporkan penerimaan mereka senilai Rp606,8 miliar. Angka itu, kata Bendahara Umum TKN Wahyu Sakti Trenggono, berasal dari sumbangan parpol, kelompok masyarakat, perorangan dan perusahaan. Trenggono menyebut dari 40 perusahaan pihaknya menerima Rp253,9 miliar. Sementara sumbangan 252 individu perorangan senilai Rp21,9 miliar.

Perang total artinya habis-habisan. Itulah yang dimaksud oleh Goebbels dalam Pidato Sportspalast atau pidato perang total pada 18 Februari 1943 ketika Jerman Nazi mulai mengalami kekalahan dalam Perang Dunia II. Segala daya yang dimiliki dikerahkan. Bahkan bila perlu menghalalkan segala cara. Tujuannya ingin menang dengan persentase optimal, seperti pernah diucapkan Ketua Harian TKN Moeldoko. “Itulah yang akan kita lakukan. Sehingga totalitas yang kita dengungkan,” kata Moeldoko.

Dan, serangan paling mematikan yang dilakukan kubu 01 adalah melalui sejumlah lembaga survei yang menayangkan hasil hitung cepat (quick count) Pilpres pada Rabu sore, 17 April 2019 lalu. Bagaimana tidak mematikan, pemilu yang disiapkan sekian lama dengan biaya Rp25 triliun lebih, selesainya seperti antiklimaks. Hanya untuk membuktikan bahwa hasil survei sejumlah lembaga survei selama ini benar. Suara di dalam kotak-kotak kardus di TPS belum juga dibawa ke kecamatan, permainan sudah dianggap selesai. The game is over. Jokowi dinyatakan menang dengan perolehan suara sekitar 54-55 persen.

Maka, betapa sangat terpukul dan shock-nya ‘bala tentara’ yang dipimpin Prabowo. Banyak yang cerita, jika sore itu banyak sekali relawan yang lemas. Tak menyangka dengan serangan mematikan itu. Seperti kurang diantisipasi. Apalagi kemudian muncul kabar-kabar tidak sedap seputar Cawapres Sandiaga Uno. Ibarat peperangan, ketika pemimpin pasukan dikabarkan tewas, maka lemaslah seluruh pasukan. Mental mereka down seketika. Itu yang terjadi pada Rabu sore hingga malam hari itu.

Beruntung, Prabowo Subianto adalah seorang jenderal. Bukan jenderal kaleng-kaleng. Dia jenderal betulan. Pemimpin pasukan di lapangan. Maka dengan segala konsekuensi dan risiko di masa yang akan datang atas dirinya, dia tampil ke depan. Di depan Rumah Kertanegara, ia mengumumkan kemenangan, sujud syukur, dan meminta ‘pasukannya’ terus mengawal penghitungan suara manual.

Bisa dibayangkan, jika Prabowo tidak mengambil langkah itu, apa yang akan terjadi. Stategi perang total benar-benar akan berhasil. Suara 02 pasti dicukur gundul. Habis. Bukan hanya suara Capres, tetapi juga suara partai. Karena mental pasukan sudah down, mereka lemah, kehilangan semangat, dan tidak lagi mengawal penghitungan. Dikawal saja penghitungan suara diwarnai banyaknya kecurangan, apalagi jika ditinggal.

TSM dan Brutal

Mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bambang Widjojanto terang-terangan menyebut Pemilu 2019 terburuk setelah reformasi. Bambang mewanti-wanti, jangan sampai ada pasangan calon yang sejatinya memperoleh suara terbanyak, tetapi justru yang menjadi presiden adalah orang lain.

Senada dengan Bambang, mantan Sekretaris Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Said Didu tegas menyebut kecurangan yang terjadi dalam Pemilu 2019 terjadi secara terstruktur, sistematik dan massif (TSM). Bahkan, kata Said Didu, mengarah kepada brutal.

1 2 3 4 5Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button